Partai pemuncak All England di bulan Maret 2024, mempertemukan All Indonesian Final. SUMBER gambar: tempo[dot]co/olahraga
SEMISAL kita percaya pepatah Perancis yang mengatakan “l historie se repete” -layaknya bait rap yang dinyanyikan penyanyi Perancis keturunan Argentina bernama Keny Arkana- maka bisa jadi “nasib” olahraga kita, utamanya bulutangkis, bagaikan tahun-tahun yang berakhiran angka sama. Contohnya 2024 bisa jadi sama dengan 1964, sama-sama “4”. Juga tahun 2025 nanti, akan sama dengan 1985, sama-sama “5”.
Meski tentu saja bicara soal tahun -bisa juga saat 1984 (waktu meraih Thomas) yang sama dengan tahun 1994 (juara Thomas dan Uber). Atau 1995 dan 2005 yang sama-sama menjadi runner up Sudirman Cup.
Bisa jadi “seakan-akan” atau seolah-olah itu berulang-ulang dalam masa 10 tahunan. Seperti Icuk Sugiarto yang menjadi juara dunia tahun 1983. Kemudian lama zonk, baru tahun 1993 Indonesia meraihnya kembali melalui Joko Suprianto yang menjadi juara dunia. Uniknya Icuk dan Joko ini sama-sama wong Solo, sama-sama All Indonesian Final. Di partai puncak mereka mengalahkan orang Kudus yaitu Liem Swie King (tahun 1983), dan Hermawan Susanto (1993). Lucunya lagi, si Aim ini adalah keponakan King.
Masih soal 10 tahunan. Gelar juara Thomas Cup yang PBSI raih di tahun 1984, kosong selama 10 tahun, baru tahun 1994 kita rebut kembali. Meski tidak terjadi untuk piala Sudirman. Karena sudah 34 tahun beregu campuran kita pulang dengan tangan kosong -terakhir di tahun 1989.
Kembali ke tahun 1964 dan 1985, apa pasal history lives itu mewujud? Pertama adalah ketika tahun 1964 Presiden pertama kita Ir. Sukarno menyampaikan pidato tentang TAVIP atau “tahun vivere pericoloso”. Sebuah frasa dari bahasa Italia yang artinya hidup penuh bahaya atau hidup yang berada di pinggir jurang -meminjam istilah para komika. Ya prestasi bulutangkis tahun ini termasuk srempet-srempet bahaya. Tanpa emas di Olimpiade Paris 2024. Pun tanpa gelar di ajang World Tour Final (WTF).
Masih untung ada Gregoria Mariska Tunjung yang mempersembahkan perunggu Olympic di sektor tunggal putri. Berikutnya di gelaran World Tour Final (WTF), untuk kelimakalinya berturut turut kita gagal raih kampiun. Terakhir kita mendapat juara WTF adalah tahun 2019 melalui ganda putra Hendra Setiawan/ Mohammad Ahsan.
Kemudian yang kedua, masih terkait tahun 1964, kita mampu mempertahankan Piala Thomas yang sebelumnya kita raih pada tahun 1961 dan 1958 (tahun kala pertama kalinya mendapat juara Thomas). Salah satu pemain yang menyumbang poin kemenangan adalah Ferry Sonnevile. Kita akan bahas selanjutnya pak Ferry ini -karena amat berkaitan dengan history live di tahun 1985.
Ferry Sonnevile merupakan satu-satunya eks pemain yang pernah menjadi Ketua Umum PBSI. tepatnya pada tahun 1981-1985. Prestasi beliau sebagai Ketua PBSI adalah mempersembahkan kembali Thomas Cup ke bumi pertiwi pada tahun 1984 -setelah hilang di tahun 1982.
Kita hanya berharap sosok kepemimpinan Ferry Sonnevile (wafat tahun 2003) mewujud pada diri Taufik Hidayat. Tahun ini posisi Taufik bisa dikatakan: tidak main-main. Menjabat sebagai Wakil Menteri Olahraga, dan Wakil Ketum PBSI. Bahkan di kegiatan rekrutmen pelatih baru dan promosi degradasi pemain, beberapa pekan lalu, Taufik Hidayatlah yang mengumumkannya di depan pers, dan mengaku bahwa dirinya berperan besar di proses tersebut.
Meski konon dengan cara rekrutmen terbuka, yaitu pelatih yang berminat diharap mengirim CV, namun sebenarnya bisa dilihat dari posisi pelatih utama -ada atau eksis “cawe-cawe”nya mister TH ini. PBSI mempercayakan kepada Muljo Handojo. Seperti kita ketahui coach Mulyo ini adalah pelatih Taufik saat dirinya merebut emas Olimpiade Athena 2004. Bahkan saking dekatnya hubungan pelatih dan anak didik waktu itu. Taufik pernah diisukan akan berpindah ke pelatnas Singapura -mengikuti Mulyo yang akan melatih di sana. Lobi Ketum PBSI saat itu (pak CT alias Chairul Tanjung) akhirnya mampu mendatangkan kembali Taufik ke pelatnas Cipayung, satu paket dengan pelatihnya, coach Mulyo ini.
Rotasi lainnya dialami koh Eng Hian yang semula menjadi pelatih kepala untuk ganda putri, menjadi Kabid Binpres. Dari wawancara Greysia Polii di acara “endgame” Gita Wiryawan, Grace mengatakan bahwa di periode pak Gita (2012-2016) itulah teknologi mengambil peran besar di pelatnas. Pak Gita membawa para “alumni” pelatih tim inggris, yakni Rexy Mainaky dan Eng Hian, dengan kemampuan penguasaan techno-sport mereka.
Salah satu ujian untuk Taufik -baik di PBSI maupun di Kemenpora- adalah konsistensi pernyataan-pernyataannya. Ketika ditanya mengapa ganda finalis WTF 2024 -yakni Sabar Karyaman Gutama/ Isfahani- tidak masuk pelatnas, Wamen sekaligus Waketum PBSI ini menjawab bahwa faktor usia keduanya yang sudah mencapai 29 tahun. Namun logic-nya agak kurang relate, karena Chico Aura Dwi Wardojo yang akan berusia 27 tahun masih juga dipertahankan. Sementara peraih emas Sea Games 2023, yaitu Christian Adinata (23 tahun), malah didepak dari pelatnas -dengan alasan masih berkutat dengan cedera.
Konsistensi lain adalah soal pelatih. Tidak lagi dipakainya Herry Iman Pierngadi, Aryono Miranat serta Irwansyah, kabar-kabarnya karena Pelatnas perlu penyegaran. Namun mengapa Reony Mainaky tetap dipertahankan dengan cara dipindah ke ganda campuran? Kalau boleh menebak, bisa jadi jasa-jasa mereka kala PBSI berjaya di Thomas Cup tahun 2021 lalu. Saat kita juara beregu putra di Denmark itu, Reony menjadi pelatih kepala, sedangkan Chico adalah tunggal keempat kita. Meski kita masih bisa berkilah, bahwa trio HAI ini (Herry, Aryono, Irwansyah) adalah pelatih yang juga berperan mendampingi pemain di kursi lapangan saat Thomas dihelat di Aarhuis, negeri Denmark, tersebut.
Berharap bahwa langkah ini adalah pilihan terbaik, bagi prestasi bulutangkis kita maupun bagi individu pelatih yang kabarnya akan ke luar negeri (Herry IP ke Malaysia, Irwansyah ke India), juga balik ke klub -Aryono kembali ke Djarum Kudus.
Bagi Chico Aura sendiri, tahun inilah masa vivere pericoloso yang memang benar-benar riil dialaminya. Setiap berpartisipasi di turnamen badminton sepanjang 2024, Chico nyaris gugur di babak pertama di semua ajang yang diikutinya. Mungkin ada pertolongan dari Tuhan yang membisikkan ke telinga Waketum Taufik dan kawan-kawan, sehingga ia lolos degradasi dari pelatnas.
Prestasi apik malah sebaliknya dialami adik kandung Chico, yaitu Ester Nurumi Tri Wardoyo. Masih berusia 19 tahun, namun mampu menjadi tunggal kedua tim Uber yang mengantarnya ke final beregu dengan menyingkirkan unggulan kedua, Korea Selatan. Di tahun ini pula, sang putri Papua, Ester Nurumi ini mampu menembus final Australia Open pada bulan Juni lalu.
Sayangnya memang, piala Uber digelar pada tahun genap. Andai tahun depan ada, maka keempat tunggal putri kita ini (Gregoria, Putri, Ester, dan Komang) bisa bicara banyak. Tahun ini menandai pergeseran drastis untuk tunggal putri. Generasi Tai Tzu Ying (Taiwan), Chen Yufei (Tiongkok), He Bingjao (Tiongkok), dan Akane Yamaguci (Jepang), juga Carolina Marin dari Spanyol (bahkan bisa jadi Gregoria M Tunjung bernasib sama) telah digantikan oleh yunior-yuniornya.
Maka masuklah duo Chinesse -yakni Wang Zhiyi dan Han Yue- yang mencoba menggoyang singgasana putri Korea, An Seyoung, si peraih emas Olimpiade Paris. Belum lagi munculnya remaja Jepang, Tomoka Miyazaki yang akan meramaikan sektor tunggal putri ini. Kita doakan regenerasi PBSI lancar sehingga Putri Kusuma Wardani (juga Komang Ayu dan Ester) turut meramaikan kompetisi yang lumayan ketat di sektor WS ini. Sehingga ketika Gregoria -entah tahun depan atau 2 (dua) tahun lagi- mulai menurun, tongkat estafet itu bisa berpindah dengan mulus.
Kita hanya bisa berharap, secara berangsurangsur, step by step kepengurusan PBSI agar dijabat oleh mantan atlet saja. Dengan asumsi: menyerahkan pada ahlinya. Bukan lagi kepada birokrat atau malah politisi. Karena jabatan ketua umum bulutangkis di Indonesia ini memang termasuk “kursi panas” yang bisa membuat promosi ke jabatan yang lebih tinggi di dunia politik. Semoga periode ini tidak demikian.
Siapa tahu, kalau Denmark punya Poul Erik Hoyer Larsen (peraih emas Olimpiade Atlanta 1996) yang sampai level Presiden BWF atau bulutangkis dunia, maka eks pemain kita juga bisa ke arah sana.
Hanya hitungan hari kita menapak 2025, jangan seperti kata-kata penyair romawi, Vergilius, dalam buku sastra Georgica yang menulis “Sed fugit interea, fugit inreparabile tempus,” yang bermakna: waktu telah berlalu, tak jua dapat diperbaiki. Atau ungkapan Latin lainnya, “Tempus fugit, sed nos manemus”. Waktu berlalu, tetapi kita tetap di sini.
Itu analogi untuk “kejohanan” beregu piala Sudirman 2025 nanti. Sudah terlalu lama menunggu sejak 1989, tanpa pernah juara lagi. Lama menunggu, kita masih disini saja: kalau tidak semifinalis, #eh malah kalah melawan negeri jiran Malaysia. Kuncinya untuk merebut piala Sudirman adalah: persiapkan tim kita mulai dari sekarang.
Kembali ke judul artikel ini. Semoga isian titik titik pada “PBSI Menatap 2025 dengan ….. “ bisa diisi dengan kata harapan, dan juta kata kepastian. Bila adik-adik kita yang sekolah menatap 2025 dengan sarapan, atau harapan sarapan gratis (bisa juga: makan siang bergizi gratis), maka kita-kita yang sudah dewasa cukup dengan harapan. Semoga tahun depan lebih baik.
ditulis oleh Yuniandono Achmad, SE, ME, dari kota Bogor, Jawa Barat.