Senin, November 17, 2025
BerandaIndeksDari Ego-Sistem menjadi Ekosistem Sinergi Kebijakan Pascabencana Percepatan Rehabilitasi Rekonstruksi di Indonesia

Dari Ego-Sistem menjadi Ekosistem Sinergi Kebijakan Pascabencana Percepatan Rehabilitasi Rekonstruksi di Indonesia

OLEH: Monalisa Herawati Rumayar

Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Kekayaan alam dan budaya yang ada.Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia.Namun, sebagai negara yang terletak di wilayah cincin api Pasifik,Indonesia memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi. Gempa bumi, letusan gunung api, banjir dan bencana hidrometeorologi lainnya menjadi tantangan nyata dalam upaya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Menurut BNPB, Data Bencana Indonesia 2025  hingga September 2025, telah terjadi 2.482 kejadian bencana, dengan dampak 28.694 rumah rusak, 559 unit fasilitas umum rusak, dan 4.926.529 masyarakat menjadi korban dan mengungsi. Kegiatan pasca bencana tidak dapat dipandang hanya sekadar upaya membangun kembali infrastruktur yang rusak. Namun secara komprehensif harus dilihat sebagai proses rekonstruksi yang bersifat total terhadap sistem kehidupan masyarakat. Bencana alam umumnya meninggalkan dampak yang luas, tidak hanya pada fisik lingkungan tetapi juga terhadap tatanan sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh karena itu, langkah-langkah pasca bencana memerlukan suatu bentuk rekayasa ekosistem baru yang mampu memulihkan sekaligus menata ulang hubungan antar unsur kehidupan manusia dan lingkungannya. Dengan tujuan agar tercipta keseimbangan serta ketangguhan jangka panjang.

Fungsi Kemenko PMK. Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mempunyai tugas menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Kementerian Koordinator menyelenggarakan fungsi :

  1. Sinkronisasi dan koordinasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu dan agenda pembangunan nasional di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
  2. Perumusan dan penetapan kebijakan dalam rangka sinkronisasi dan koordinasi kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu dan agenda pembangunan nasional di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
  3. Pengendalian pelaksanaan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu dan agenda pembangunan nasional di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
  4. Pengelolaan dan penanganan terkait dengan isu dan agenda pembangunan nasional di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
  5. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Koordinator;
  6. Pengawalan program prioritas nasional dan kebijakan lain yang telah diputuskan oleh Presiden dalam sidang kabinet; g.penyelesaian permasalahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan yang tidak dapat diselesaikan atau disepakati antarkementerian/lembaga dan memastikan terlaksananya keputusan dimaksud;
  7. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dalam rangka sinkronisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu dan agenda pembangunan nasional di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan;
  8. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Koordinator;
  9. Pengawasan atas pelaksanaan fungsi di lingkungan Kementerian Koordinator; dan
  10. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden. Artinya secara keseluruhan, Kemenko PMK melalui fungsi KSP memiliki peran sangat penting dalam memastikan bahwa kebijakan pembangunan manusia dan kebudayaan:
  • dirumuskan secara terintegrasi antar kementerian/lembaga,
  • dilaksanakan secara selaras dan konsisten,
  • dipantau dan dievaluasi agar target-target nasional tercapai,
  • serta bahwa intervensi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tapi merespons kebutuhan di lapangan dan daerah.

Efektivitas KSP tergantung juga pada Kementerian/Lembaga dan kapasitas institusi daerah, komunikasi antar aktor, fleksibilitas dalam menyesuaikan kebijakan dengan kondisi lokal, dan kesanggupan untuk mengambil tindakan korektif bila pelaksanaan berjalan di luar rencana

Kecenderungan Ego-sektor. Dalam praktik kebijakan publik, penanganan pasca bencana sering kali bersifat sektoral dan terfragmentasi. Kementerian atau lembaga yang berbeda memiliki mandat dan fokus kerja yang spesifik, sehingga intervensi yang dilakukan cenderung tidak terkoordinasi secara optimal. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur pemukiman yang dilakukan tanpa memperhatikan kebijakan tata ruang dapat menimbulkan risiko baru seperti pembangunan di wilayah rawan bencana. Oleh sebab itu, diperlukan rekayasa sinergi kebijakan agar setiap kebijakan sektoral berjalan dalam satu arah, saling melengkapi, dan tidak saling bertentangan. Pemulihan pascabencana harus dapat diselesaikan secepat dan sebaik mungkin, sehingga tidak menimbulkan kerawanan sosial dan permasalahan baru.

Pemulihan Pascabencana dilakukan melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang mencakup pemulihan pada 5 (lima) sektor: yaitu Permukiman, Infrastruktur, Sosial, Budaya, dan juga Lintas Sektor. Pembelajaran dari penanganan pascabencana Sinabung ketika sektor Permukiman dan Infrastruktur dilakukan namun belum terlalu melihat non fisik seperti sektor sosial, ekonomi dan lintas sektor. Masyarakat penyintas enggan untuk menempati huntap karena sumber penghidupan mereka di sektor ekonomi pertanian dan di Kawasan huntap mereka tidak dapat mengakses lahan usaha tani sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian mereka padahal mereka butuh juga sustainable livelihood.

Kondisi saat ini masih terdapat silo-silo kebijakan pascabencana yang seyogianya secara komprehensif untuk penanganan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Data pascabencana perlu ada interoperabilitas data. Selain itu dalam pengambilan keputusan karena kendala rentang kendali jarak dan waktu maka masih ada kemungkinan mengalami delay pengambilan Keputusan untuk suatu kebijakan pascabencana untuk pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana masif.

Konsep dan Implementasi RESPON. Sebagai perwujudan dukungan terhadap Asta Cita 8 (delapan), RPJMN 2025-2029 dan mengakselerasi pencapaian SDG’s dan mendukung reformasi birokrasi tematik, Pemerintah oleh Monalisa Herawati Rumayar,Asisten Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan selaku Peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Angkatan XV Tahun 2025, membuat inovasi Rekayasa Ekosistem Kebijakan Pascabencana: Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Indonesia (RESPON.

Kembali kepada upaya merekayasa ekosistem dan usaha menyinergikan kebijakan pasca bencana dan mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi. Kami di keasdepan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan mengembangkan konsep RESPON. Respon merupakan singkatan dari Rekayasa Ekosistem Sinergi Kebijakan Pascabencana Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Konsep “Respon” adalah sebuah konsep yang pernah kami gagas dan disosialisasikan lebih lanjut di Asisten Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Komponen Utama RESPON terdiri dari Kartu Kendali, Tim Koordinasi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi, dan Forum Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi. RESPON diilatarbelakangi banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana, namun di latarbelakanginya munculnya inovasi ini karena belum memiliki wadah koordinasi terpusat antar seluruh unsur yang terdiri dari pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan lainnya. Dalam tata Kelola pascabencana juga dirasakan masih belum optimal.

 

RESPON memiliki 3 (tiga) output utama yaitu: Tim Koordinasi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, tools Kartu Kendali Monitoring dan Evaluasi Bersama Rehabilitasi Rekonstruksi, serta Forum Kebijakan Rehabilitasi Rekonstruksi. Tim Koordinasi Nasional Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana berfungsi sebagai wadah koordinasi dan sinkronisasi antar pemangku kepentingan untuk menyelesaikan masalah, kendala, tantangan yang dihadapi dalam bentuk kebijakan percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi baik di tingkat pusat maupun daerah. Kartu Kendali Monitoring dan Evaluasi Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi disusun sebagai alat bantu bagi Kementerian/Lembaga Pusat secara umum dan Pemerintah Daerah secara khusus untuk melihat sampai tahap mana proses rehab rekon telah dilaksanakan, dan langkah-langkah apa yang harus diselesaikan kedepan.

Dan Forum Kebijakan Rehabilitasi dan Rekonstruksi dibangun untuk memantik lahirnya kebijakan-kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi maupun kebijakan pada sektor lainnya yang memperhatikan prinsip pengurangan risiko terhadap bencana dan pembangunan kembali yang berkelanjutan.

Selain itu, rekayasa ekosistem kebijakan menuntut adanya pendekatan adaptif yang memungkinkan kebijakan berkembang sesuai dinamika sosial dan ekologis wilayah terdampak. Kebijakan yang adaptif berarti mampu menyesuaikan strategi pemulihan dengan kondisi riil di lapangan, seperti ketersediaan sumber daya alam, kapasitas masyarakat, serta potensi ekonomi lokal. Pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam pemulihan, bukan sekadar penerima bantuan, sehingga hasilnya lebih berkelanjutan dan berdampak luas. Contoh konkret penerapan rekayasa ekosistem sinergi kebijakan dapat dilihat dari penanganan pasca-erupsi Gunung Merapi. Di wilayah tersebut, rehabilitasi lingkungan dilakukan bersamaan dengan pengembangan ekowisata dan pelatihan ekonomi masyarakat. Pemerintah menata ulang tata ruang berdasarkan jalur lahar dingin, sementara sektor ekonomi didorong untuk mengembangkan produk berbasis potensi lokal seperti pasir vulkanik dan wisata edukatif. Sinergi kebijakan lintas sektor inilah yang kemudian menciptakan sistem sosial-ekonomi-lingkungan baru yang lebih tangguh dan berdaya saing. Contoh lain pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Gunung Ruang Provinsi Sulawesi Utara. Masyarakat penyintas harus melakukan relokasi antar kabupaten dalam Provinsi Sulawesi Utara yaitu dari kabupaten Siau Tagulandang Biaro ke Kabupaten Bolmong Selatan. Saat ini selain relokasi mandiri, sedang dalam proses penyelesaian hunian tetap beserta fasilitas umum fasilitas sosial di Desa Modisi Kabupaten BolSel. Dalam Rakor penanganan pascabencana di awal Oktober 2025, pemantauan bersama telah menggunakan Kartu Kendali Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Dalam rencana penyelesaian huntap akan rampung pada akhir November 2025.

Dengan demikian, kegiatan pasca bencana yang berlandaskan pada rekayasa ekosistem sinergi kebijakan bukan hanya bertujuan memulihkan keadaan seperti semula, tetapi membangun kondisi yang lebih baik, adaptif, dan berkelanjutan. Pendekatan ini memastikan bahwa proses pemulihan pasca bencana menjadi momentum transformasi menuju masyarakat yang resilien—yang tidak hanya mampu bertahan terhadap bencana, tetapi juga tumbuh dan berkembang darinya.  Melalui inovasi ini, Kemenko PMK mengajak berbagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun ekosistem sinergi kebijakan penyelesaian rehabilitasi dan rekonstruksi pemulihan pascabencana yang lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan, sejalan dengan prinsip Build Back Better, Safer, and Sustainable.

Penulis: MONALISA HERAWATI RUMAYAR, Asisten Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Peserta PKN Tingkat II, Angkatan XV Tahun 2025, Mahasiswa Program Doktor Bidang Pemerintahan Program Pascasarjana IPDN Angkatan XIV.

 

BERITA TERKAIT

Kembalinya Permainan Jojo

MBG melalui KMP

PBSI Tidak Mampir di Hong Kong

- Advertisment -spot_img

Berita Populer