Gambar dari https://bwfworldtour.bwfbadminton(dot)com/news-single/2024/09/14. Tampak Ginting beradu net dengan “raksasa dari Odense” Viktor Axelsen
MELIHAT rentetan prestasi bulutangkis kita 3 (tiga) bulan ini, layaknya semacam perguliran musim tanam. Mengenal panen lalu masa paceklik. Setelah musim paceklik, datanglah masa panen. Kita ambil starting point-nya dari olimpiade Paris bulan Juli lalu. Kita anggap paceklik gelar karena hanya 1 (satu) perunggu melalui tunggal putri kita, Gregoria Mariska Tunjung. Kemudian bulan Agustus di turnamen Jepang terbuka, masa paceklik agak membaik. Meskipun masih nir gelar. Di Jepang ada sisi yang menggembirakan yakni munculnya 2 (dua) semifinalis ganda putra. Pasangan baru: Leo Daniel/ Bagas Maulana dan Muh Shohibul Bakri/ Daniel Martin.
Setelah Jepang Terbuka, lalu Korea Selatan. Masa panen baru didapat saat Korea Open, 2 (dua) pekan yang lalu. Kita mendapat emas dari ganda putra, melalui pasangan yang baru diduetkan, Leo Rolly Carnando/ Bagas Maulana. Sesudah itu Taiwan Terbuka, terjadi perihal ganjil yakni munculnya peristiwa “all Indonesian final” di ganda putri. Febriana Dwipuji Kusuma/Amalia Cahaya Pratiwi, yang tahun ini “panen” gelar setelah menjadi kampiun Australia Open di bulan Juni 2024, sekarang menjadi juara di Taipei Open. Ajang Australia Open adalah turnamen Tur Dunia BWF level Super 500. demikian pula Taiwan Terbuka, Di final, Febri/ Amalia mengalahkan kompatriotnya, Jesita Putri Miantoro/ Febi Setianingrum. Sayang di HK Open ini Febri/ Amalia tersandung pasangan Malaysia, Pearly Tan/ Tinaah, yang akhirnya menjadi juara. Tan/ Tinaah masih menjadi momok bagi pasangan putri kita. Tidak hanya Amalia/ Febri, bahkan pasangan WD nomor satu kita yaitu Apriyani Rahayu/ Siti Fadhia kalah straight set melawan duo Malaysia ini di penyisihan grup Olimpiade Paris lalu.
Keberhasilan atau panen di sektor putri –selain Amalia/ Febri- masih berlanjut. Yaitu suksesnya Putri KW menjadi runner up tunggal putri di 2 (dua) ajang yang diikutinya berturut-turut. Baik di Taiwan maupun Jepang.
Di Hong Kong terbuka, lagi-lagi paceklik gelar. Namun sisi menggembirakan adalah ada 2 (dua) sector yang menghasilkan perak atau runner up. Tunggal putri nomor 2 (dua) kita, Putri Kusuma Wardani, lagi-lagi menjadi juara dua. Kemudian pasangan ganda non pelatnas, Sabar Karyaman/ Isfahani takluk ke “spesialis” runner up yaitu Seo Seung Jae/ Kang Min Hyuk. Disebut spesialis karena sesudah olimpiade, pasangan Seo/ Kim asal Korea Selatan ini selalu takluk di final pada 2 turnamen yang diikutinya –yakni Japan Open dan Korea Terbuka.
Minggu depan para pemain dunia akan muncul di turnamen super series dengan hadiah terwahid sedunia, China Open. Mengingat supernya turnamen Tiongkok ini, banyak pemain yang menunda tampil di Korea dan Hong Kong untuk menyimpan tenaga agar tampil maksimal di kota Changzhou, China tersebut. Hadiah total mencapai USD 2,000,000 artinya lebih dari 30 Milyar Rupiah.
Sehingga kita bisa positive thinking bahwa kekalahan Gregoria (kala melawan Ratchanok Inthanon di HK Open ini, padahal sebulan sebelumnya Grego menang mudah atas Ratchanok di Paris) karena menyimpan penampilan puncak di China nanti. Meski hal itu juga bisa terjadi pada pemain WS Taipei, Tai Tzu Ying (TTY). TTY sebanyak 2 (dua) kali dipencundangi oleh Putri Kusuma Wardani, bahkan pada saat main di depan pendukungnya di negeri Taiwan.
Bagaimana dengan sektor putra? Sisi menggembirakan di bagian putra adalah selalu tampilnya ganda putra kita di semifinal. Pasangan baru PBSI -yakni Leo/ Bagas dan Daniel/ Fikri- selalu mencapai semifinal, bahkan Leo Rolly Carnando/ Bagas Maulan sempat meraih gelar di Taiwan. Kemudian pasangan non pelatnas -Sabar Karyaman/ Muh Ishfahani- mencapai final di Hong Kong Terbuka ini. Semoga tren bagus tersebut meningkat ke turnamen berikutnya.
Untuk tunggal putra, Jonathan Christie beserta Anthony Sinisuka Ginting kita anggap on the right track menuju performa terbaik. Mencapai semifinal HK Open adalah prestasi yang cukup bagus mengingat lawan di babak sebelumnya tidak bisa dianggap sebelah mata. Jojo menyingkirkan Kodai Naraoka, Ramsus Gemke, dan Wang Tsu Wei (Taiwan). Sedangkan Ginting mengalahkan Popov (Perancis), dan bertarung sengit rubber game melawan Jason Gunawan dari tuan rumah Hong Kong.
Sayang memang di babak semifinal Jonatan kalah dari Lei Lan Xi (China), 14-21, 21-12, 17-21. Di pertemuan pertama di antara mereka, Jonatan kesulitan menghadapi kecepatan Lei. Pertahanan Lei sulit ditembus Jojo. Lei ini termasuk senior (karena hanya setahun lebih muda dari Jojo) namun selama ini kalah cemerlang dibanding kompatriotnya seperti Shi Yuqi, Li Shifeng, dan Lu Guangzu. Padahal tahun 2016, Lei merupakan juara dunia yunior.
Adapun Anthony kalah dari pebulutangkis Denmark, Viktor Axelsen, 9-21, 19-21. Ginting nyaris mendekati poin Axelsen pada babak kedua 19-20 (setelah tertinggal 13-20) namun Viktor menutupnya dengan 19-21. Ginting tidak berhasil mengulangi prestasinya di All England kemarin tatkala mempencundangi Viktor dengan rubber game.
Setelah Jojo, lalu Ginting, tunggal ketiga kita adalah Chico Aura Dwi Wardoyo. Dari 3 (tiga) kali tampil di 3 (tiga) turnamen, Chico ADW kalah di babak 32 besar. Tentunya membutuhkan bantuan psikolog PBSI agar mengembalikan mental pemain yang selalu gagal di babak awal. Kita harapkan HK Open ini menjadi pemanasan yang bagus menuju China Open Super Series.
Fenomena “all Indonesian final” di ganda putri pada turnamen Taiwan Terbuka, kemudian pertemuan sesama ganda putra di HK open tentunya sinyal bagus untuk beregu. Artinya kita sudah ada pemain pelapis untuk menunjang pemain utama. Namun sayangnya, turnamen beregu yang terdekat adalah tahun 2025, yakni Sudirman Cup. Naas, bahwasanya sektor terlemah kita adalah ganda campuran. Barangkali usulan cik Butet (Lilyana Natsir) agar dirombak pasangan XD kita bisa dicoba. Mungkin kendala adalah pada beda-beda sponsor pendukung pemain, sehingga tidak mudah untuk seketika menukar atau menggantinya.
Di situlah peran pengurus PBSI, sehingga muncul wisdom/ policy untuk sponsorship yang lebih cair. Menurut catatan kami, era sponsorship ke individu pertama kali dicoba pada era Ketum PBSI bapak Gita Wiryawan di tahun 2013. Sebelumnya sponsor ditujukan ke PBSI sebagai 1 (satu) organisasi, sehingga semua pemain sama rata sama rasa mendapat sponsor yang sama. Di era Gita Wiryawan (dengan pelatih utama Rexy Mainaky) perombakan besar terjadi, yaitu antar pemain berkompetisi dalam mendapatkan sponsor.
Kembali ke persiapan menuju China Open Super Series. Meskipun menjadi turnamen terketat dan disebut sebagai “kandang macan”, jejak digital berupa history kita menunjukkan perihal positif bahwa pemain Indonesia banyak yang berhasil menjadi juara di turnamen ini. Dihelat sejak tahun 1986, pertama kali juara adalah Icuk Sugiarto. Beberapa tahun berikutnya giliran yang menjadi juara antara Ardy BW, Alan BK (1991 dan 1994), Joko Suprianto dan Hermawan Susanto (1992), serta terakhir A Sinisuka Ginting di tahun 2018. Sedangkan pemain kita yang terakhir mendapatkan juara adalah “the minnions” Kevin/ Marcus di tahun 2019. Kita harap Gregoria “Jorji” Mariska mendapatkan penampilan puncak (peak performance) di Guangzhou pertengahan September ini. Demikian pula dengan Jojo dan Ginting, good luck
ditulis oleh Yuniandono Achmad SE ME, pemerhati olahraga dari Bogor