Kuansing (Nadariau.com) – Kejanggalan demi kejanggalan mulai terkuat, dibalik pemberian hibah lahan sawit sebanyak 200 hektar oleh PT Adimulia Aggro lestari ke sejumlah lembaga pemerintahan Desa dan lembaga Adat di kuansing semenjak bulan juli yang lalu. Sehingga memunculkan kecurigaan dikalangan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.
Kejanggalan tersebut muncul tidak hanya dari keterang Ketua kelompok atau pihak-pihak penerima saja, hal itu juga muncul dari keterangan Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan (Disbunnak) Kuansing, Andri Yama soal hibah lahan sawit 200 hektare dari PT Adimulia Agrolestari (AA) ke sejumlah lembaga di Kuansing.
Andri mengatakan benar PT AA telah menghibahkan lahan sawit seluas 200 hektare diperuntukkan untuk 4 desa, lembaga adat, pondok pesantren dan BUMD, hibah tersebut hanya berdasarkan SK penetapan oleh Bupati Kuansing.
Adanya hibah lahan sawit seluas tersebut, Andri menjelaskan, bahwa itu berdasarkan usulan dari Pemkab Kuansing ke PT AA supaya desa-desa sekitar wilayah HGU diberikan kebun sawit untuk bisa dijadikan pendapatan desa.
“Iya PT AA ada menghibahkan lahan sawit 200 hektare. Penerimanya ada 4 desa, kelembagaan adat, pondok pesantren dan BUMD. Kebun ini dikelola oleh kelompok tani, karena kerjasamanya melalui kelompok tani,” jelas Andri
Lanjut Andri, keinginan pemkab kuansing, dalam hal ini berupaya bagai mana supaya perusahaan dapat memberikan sebagian lahannya untuk masyarakat dan lembaga Adat di kuansing. Sehingga momen pengurusan perpanjangan HGU tersebut dimanfaatkan pemerintah daerah untuk mengupayakan hal tersebut.
“Kita kan ingin bagaimana perusahaan itu bisa membagi kebunnya kepada masyarakat. Nah kesempatan yang paling bagus itu ketika mereka memperpanjang HGU,” ujar Andri kepada awak media, dikantornya Jumat (17/10/2025).
Kejanggalan demi kejanggalan tersebut terus teringkap ketika Kadisbun Kuansing ditanya terkait proses hibah lahan tersebut apakah sudah dilakukan sesuai mekanisme dan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Secara tidak langsung Andri Yama menyebutkan proses hibah tersebut tidak sesuai mekanisme.
“Dasar hibah adalah SK Bupati. Dan jika dikemudian nanti ada permasalahan, ya lahan itu kita kembalikan ke perusahaan,” jawab Andri dengan gamblang.
Diketahui, 4 desa yakni desa Sukamaju, Sukadamai, Sumber Jaya dan desa Beringin Jaya menerima hibah sawit seluas 140 hektare. Tak hanya desa, Limbago Adat Nagori (LAN), BUMD dan Pondak Pesantren juga menerima 60 hektare.
Lahan perkebunan sawit dengan total luasan 200 hektare yang disebutkan pemberian hibah dari PT AA belokasi di Singingi Hilir itu dikelola kelompok tani (poktan) bernama ‘Sukadamai Berjaya’ yang diketuai H Sukiman.
Sebelumnya warga bertanya-tanya apa yang mendasari PT AA menghibahkan lahan sawit secara cuma-cuma kepada sejumlah lembaga tersebut. warga juga mempertanyakan apakah hibah itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Atas dasar apa nih PT AA menghibahkan lahan seluas itu?. Apakah lahan yang dihibahkan sah secara hukum milik perusahaan?,” tanya salah seorang warga.
Heri Guspendri, Ketua FABEM Riau menyampaikan, tidak hanya mempertanyakan sebagaian kalangan, bahkan ada yang menduga adanya gratifikasi terselubung. Hal ini dibalik hibah lahan yang diserahkan PT AA ke sejumlah kelompok lembaga pemerintah dan LAN Kuansing yang dibungkus dengan nama kelompok tani tersebut.
Dikatakannya, untuk mendapatkan HGU perusahaan itu sangan susah dan melalui proses yang panjang, sehingga apa yang di lakukan PT. AA ini menimbulkan tanda tanya yang besar.
“Apakah benar Hibah secara cuma cuma, atau ada kaitannya dengan perpanjangan HGU PT. AA? Kita tidak menuduh, hanya menduga adanya sesuatu dibalik hibah 200 hektar ini, dan kalau memang ada artinya ini bisa di sebut gratifikasi,” ungkap Heri.
Seperti diketahui sebuah perusahaan yang menghibahkan lahannya kepada desa atas permintaan kepala daerah bisa dikategorikan sebagai gratifikasi, terutama jika pemberian tersebut berhubungan dengan jabatan kepala daerah dan berlawanan dengan tugasnya.
Meskipun secara umum hibah adalah pemberian sukarela, dalam kasus ini, konteks “permintaan kepala daerah” dan hubungan perusahaan-pemerintah menjadi kunci untuk menentukannya.
Sementara gratifikasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12b ayat (1) menyatakan bahwa gratifikasi dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas penerima dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memuat aturan terkait gratifikasi.
Dengan sanksi penerima gratifikasi ilegal dapat dikenakan pidana penjara seumur hidup atau antara 4 hingga 20 tahun, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. (DONI)


