Sabtu, Juni 14, 2025
BerandaIndeksOlahragaIO 2025: Hikmah dan Pelajaran

IO 2025: Hikmah dan Pelajaran

OLEH: Yuniandono Ahmad. KET. Gambar: Pasangan ganda campuran, Adnan Maulana/ Indah Cahya Jamil bermain cukup baik di Indonesia Open (IO) 2025. Mengulang prestasi di Thailand Open bulan Mei lalu, melaju sampai ke perempat final, dengan menyingkirkan beberapa pemain unggulan. Gambar dari https://pbsi.id/2024/08/25/wondr-by-bni-indonesia-international-challenge  

INDONESIA Open (IO) 2025 sebagai kejuaraan super series 1000, turnamen nomor 2 (dua) terbesar untuk prize money setelah China Open, selesai digelar kemarin Ahad 08 Juni 2025 bertepatan dengan Minggu Legi, 12 Dzulhijjah 1446 H. Tuan rumah Indonesia lagi-lagi seperti IO 2022, 2023, dan 2024, pulang tanpa gelar.

Meski tahun ini lebih mendingan dibanding tahun lalu. Pada IO 2024 sama sekali tiada satupun pemain pribumi mampu ke final. Tahun ini lumayan ada 1 (satu) ganda putra Sabar Karyaman Gutama/ Muh Reza Isfahani yang melaju hingga ke final.

Sedangkan sekondan Cipayung lainnya kepentok di semifinal, yakni ganda putra Fajar/ Moh Rian Ardianto. Kala perempat final ada 3 (tiga) pemain gugur. Mereka ialah tunggal putri Putri Kusuma Wardani, WD Febriana Dwipuji Kusuma/ Amalia Cahaya Pratiwi, dan ada 1 (satu) ganda campuran Adnan Maulana/ Indah Cahya Sari Jamil.

Uniknya untuk IO kali ini, pelaksanaannya melewati atau melalui hari Idul Adha. Mungkin tidak begitu masalah bagi Indonesia karena gaung hari besarnya masih lebih kuat Idul Fitri. Sementara bagi masyarakat di semenanjung Melayu (terutama Malaysia, bahkan termasuk beberapa provinsi di Sumatra) hari raya terbesar adalah hari qurban atau Haji sebagai puncak ibadah di bulan suci.

Banyak hikmah yang bisa dipetik dari pelaksanaan Idul Qurban 1446 Hijriyyah. Lalu bagaimana dengan turnamen IO 2025, hikmah apa yang bisa diambil? Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari turnamen ini.

Pertama ialah menurunnya performa beberapa pemain top dunia. Seperti ganda putra Liang Wei Keng/ Wang Chan dari Tiongkok yang merupakan juara bertahan IO tahun lalu. Meski tumbang di tangan sesama Chinesse -pasangan Huang Di/ Liu Yang- namun beruntun sejak All England bulan Maret lalu, dan berlanjut di Kejuaraan Asia lalu Thailand, Malaysia dan Singapura, pasangan ini tidak bisa lepas dari perempat final. Bahkan di All England tumbang pada babak pertama dari pasangan kita, Sabar Karyaman/ Reza Isfahani.

Kemudian pemain India single Lakshya Sen -semifinalis Olimpiade Paris 2024, yang selama ini menjadi batu sandungan bagi Jonathan Christie dan Antony Ginting- masih belum bisa keluar dari perangkap 32 besar sejak Kejuaraan Asia bulan April, lalu turnamen di Thailand, Singapura, dan sekarang di Istora Senayan.

Yang kedua, kegagalan para pemain ASEAN. Selain Indonesia, para pemain dari Asia Tenggara juga tampak keok dengan “keangkeran” Istora Senayan. Pasangan Aaron Chia/ Soh Woi Yik (Malaysia) tidak bisa melanjutkan hattrick mereka ke final. Seperti diketahui Chia/ Soh menjadi 2 (dua) kali di 3 (tiga) turnamen berturut-turut sebelum IO ini. Chia/ Soh juara di Thailand Open, Malaysia Master sebagai runner up, dan kembali juara di Singapura Open. Bahkan bila ditarik ke awal bulan April -tepatnya sebelum Sudirman Cup- pasangan Malaysia tersebut menjuarai Kejuaraan Asia.

Tetapi turnamen IO ini menjadi malapetaka tersendiri bagi pasangan Aaron/ Soh. Mereka langsung tumbang di babak pertama melawan ganda Denmark, Rasmus Kjaer/ Frederik Søgaard Mortens. Pasangan Denmark ini pula yang menyingkirkan mereka di babak pertama All England awal bulan Maret lalu.

Demikian pula dengan ganda campuran Thailand, Dechapol Puavaranukroh/Supissara Paewsampran. Pasangan runner up di Singapura Terbuka -pada sepekan sebelumnya- kembali menjadi juara 2 (dua) di IO 2025 ini. Dechapol/Supissara kalah straight set dari pasangan Perancis, Gicquel/ Delphine Delrue.

Meski gagal di final, wakil Thailand, Dechapol Puavaranukroh/Supissara Paewsampran ini masih menjadi momok bagi pasangan Indonesia. Babak pertama menyingkirkan Dejan Ferdinansyah/ Siti Fadia Silva Ramadhanti. Kekalahan Dejan/ Fadia atas pemain Thailand di babak 32 besar merupakan ulangan babak pertama Thailand Open bulan Mei lalu. Sebenarnya di bulan Februari 2025, Dejan/ Fadia mampu menjejakkan kaki di final tapi kalah melawan pemain tuan rumah Thailand ini di turnamen Thai Master. Kala itu Dejan/ Fadia kalah rubber game melawan Dechapol/ Supissara. Namun di Istora ini Dejan/ Siti Fadia kalah mudah dengan straight set.

Pemain Thailand lainnya yakni Kunlavut Vitidsarn -nomor 1 (satu) dunia di tengah absennya Peter Axelsen (Denmark)- juga tidak mampu ke final, tumbang di tangan pemain gaek asal China Taipei, Chou Tien Chen.

Nyaris saja pasangan putri dari negeri jiran, Pearly Tan/ Thinaah meraih juara, namun kalah tenaga melawan pasangan Tiongkok nomor 1 (satu) dunia Liu Sengshu/ Tan Ning. Investasi besar bagi negara Tiongkok atas kedigdayaan Liu/ Tan ini, karena usia masih 21 tahun dan sudah menduduki peringkat wahid dunia.

Kemudian yang ketiga, adalah kembalinya para pemain Eropa untuk mendominasi jagad bulutangkis dunia. Dari 5 (lima) partai, sebanyak 2 (dua) diambil oleh pemain Eropa, yaitu Anders Antonsen di tunggal putra dan ganda campuran asal Prancis Thom Gicquel / Delphine Delrue. Kemenangan Thom / Delphine menjadi kejutan. Sebelumnya, mereka selalu kalah dalam dua pertandingan melawan pasangan Thailand tersebut.

Pasangan Prancis ini sangat underdog -alias tidak diunggulkan untuk meraih jawara. Thom/ Delphine menyingkirkan dua pasangan XD kita, yaitu Rehan/ Gloria di babak pertama, dan Adnan/ Jamil di babak ketiga.

Keberhasilan Thom / Delphine menjuarai ajang ini menjadi catatan sejarah karena merupakan gelar turnamen BWF Super 1000 pertama tim Perancis dan mencatatkan namanya sebagai pemain Prancis pertama yang menjadi juara di Indonesia Open sejak turnamen ini digelar pada tahun 1982.

Bagaimana dengan pemain muda kita?

Pemain muda ini dibedakan antara pemain muda di bawah 25 tahun dan pemain debutan. Di antara 21 wakil kita di IO 2025 ini, sebanyak 5 (lima) di antaranya new comer alias baru saja berkesempatan tampil di turnamen super series 1000 ini. Ketiganya adalah Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu, Alwi Farhan, dan Siti Sarah Azzahra/Agnia Sri Rahayu.

Ketiga pemain tersebut mengawali debut dengan apik. Namun sayang hanya menang di 32 besar, begitu masuk ke 16 harus bertemu dengan peringkat yang jauh lebih tinggi. Mereka kalah meski dengan skor tipis. Babak pertawa Alwi Farhan mengalahkan mantan pemain nomor satu India, Prannoy HS. Namun kalah rubber di babak 16 besar melawan pemain Denmark, Anders Antonsen, yang akhirnya meraih gelar juara.

Kemudian Jafar Hidayatullah/Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu dan Siti Sarah Azzahra/ Agnia Rahayu juga menjalani debut Indonesia Terbuka dengan kemenangan. Pasangan debutan ganda putri Indonesia, Siti Sarah Azzahra/Agnia Sri Rahayu, menumbangkan ganda putri Skotlandia, Julia Macpherson/Clara Torrance. Sayangnya babak 16 besar harus bertemu sesama Pelatnas -yaitu senior mereka, Febriana Dwipuji Kusuma/Amalia Cahaya Pratiwi.

Kemudian XD kita Jafar/Felisha mengalahkan Wong/Lim dengan skor 21-11, 21-16 tapi di babak 16 besar kalah melawan unggulan ketujuh asal Jepang, Hiroki Midorikawa/Natsu Saito.

Catatan lumayan bagus ditorehkan pasangan muda ganda campuran lainnya, Adnan Maulana/ Indah Cahya Jamil. Mereka mengulang Thailand Open di pertengahan Mei lalu, yaitu melaju sampai ke perempat final. Apabila di Thailand Open secara mengejutkan mereka menyingkirkan pasangan XD top asal Tiongkok, Jiang/ Wei.

Padahal pada bulan Maret lalu, BWF menempatkan ranking Jiang Zhenbang/ Wei Yaxin menjadi nomor 1 (satu) dunia melengserkan kompatriotnya, Feng Yanzhe/Huang Dongping. Artinya Adnan Maulana/ Indah Cahya Jamil mempunyai pengalaman menyingkirkan pemain peringkat 1 dunia. Di IO 2025 ini ganda Adnan/ Jamil menyingkirkan duo Hongkong yang merupakan juara Malaysia Open seminggu sebelumnya, Tang Chung Man/ Tse Ying Suet.

Pasangan ganda putri kita Siti Fadia Silva Ramadhanti/ Lanny Tria Mayasari, sedang berproses untuk bisa bersaing dalam turnamen dengan level lebih tinggi dari Super 300. Dengan persaingan ganda putri yang kian merata, peluang bagi Fadia/Lanny untuk naik level dan berprestasi sebenarnya terbuka. Namun mereka sering tersingkir oleh ganda papan atas seperti Jia Yifan/ Zhang Shu Xian, dan Pearly Tan/ Thinaah.

Siti Fadia/Lanny bertanding sebagai tandem pertama pada bulan Oktober 2024. IO 2025 kali ini menjadi turnamen berlevel Super 1000 kedua baginya. Pasangan berusia 24 tahun dan 23 tahun ini berhasil bermain dengan sangat baik saat menjuarai Thailand Masters 2025.

Menjuarai Thailand Masters yang berlevel Super 300 menjadi titik awal Fadia/Lanny untuk menaikkan persaingan mereka. Sebelum Indonesia Terbuka, Fadia/Lanny bermain pada turnamen level Super 500, yakni Malaysia Masters dan Thailand Terbuka. Hasil terbaik mereka adalah perempat final di Malaysia.

Menjadi keputusan yang bagus untuk mengembalikan Siti Fadia hanya fokus di ganda putri. Karena bermain rangkap (ganda putri dan juga ganda campuran) membutuhkan stamina tinggi. Untuk keperluan turnamen beregu seperti Sudirman Cup, kontribusi pemain rangkap memang dibutuhkan. Tapi untuk series individu barangkali memang Fadia belum mampu.

Sedangkan sekondan lainnya sesama Pelatnas, yaitu pasangan Apriyani/ Febby dan Amalia/ Pratiwi di IO 2025 ini tumbang oleh ganda senior dari Korea, Baek Hana/ Lee So Hee.

Risiko turnamen besar seperti IO adalah menjadi pantauan dunia. Tidak hanya pemain kita yang mengincar, beberapa pemain luar negeri sengaja turun di rangkaian turnamen ASEAN dan mengakhiri di IO -lalu memilih untuk istirahat. Seperti yang dilakukan Michelle Li dari Kanada.

Sejak diselenggarakan pertama kali pada 1982, Indonesia Terbuka termasuk turnamen bulu tangkis tahunan tertua di Asia. Saat Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) membuat struktur turnamen Super Series/Premier dan Grand Prix/Grand Prix Gold pada 2007-2017, Indonesia Terbuka berkategori Super Series pada 2010-2016 dan naik menjadi Super Series Premier sejak 2011.

Lalu, ketika BWF mengubah struktur tersebut menjadi BWF World Tour pada 2018, Indonesia Terbuka menjadi salah satu dari 4 (empat) turnamen pada level tertinggi, Super 1000. Semakin tinggi level, semakin besar hadiah dan poin ranking yang diperebutkan. Berdasarkan struktur turnamen BWF, Super 300 yang tahun ini dijuarai Fadia/ Lanny termasuk dalam kategori tingkat kedua level 5 (lima). Berada di atasnya adalah level 1 hingga 4, yaitu Final BWF, Super 1000, Super 750, dan Super 500.

Semakin bergengsinya turnamen IO ini mau tidak mau perlu dibarengi dengan kedewasaan penonton. Menjadi tuan rumah yang baik, terutama saat menjamu lawan tanding kita, tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah (PR). Beberapa netizen negeri tetangga mengkritik pengucapan “boo” (atau: Huu) yang diulang beberapa kali dan ditujukan kepada pemain mereka, Tee Kai Wun/ Man Wei Chong.

Ini menjadi refleksi panitia agar lebih baik. Walau tentunya perspektif “covering the both side” perlu dikedepankan di sini. Coba disimak pernyataan pers dari ganda campuran Perancis, Thom Gicquel/Delphine Delrue dan tunggal putra Taiwan, Chou Tien Chen. Mereka malah terkesan dan merindukan berisiknya penonton Istora saat mengucapkan “Ee aa ee aa”.

Kalau ada peribahasa macam “Tiada gading yang tak retak” mungkin dalam Bahasa Melayu ada juga “Bulat air kerana pembetung, bulat manusia kerana muafakat”. Maksud awak ni Cik: Nobody’s perfect laah. Semoga tahun depan penyelenggaraan IO akan lebih sempurna lagi.

Opini ditulis oleh Yuni Andono Ahmad SE ME, pengamat olahraga dari Bogor, Jawa Barat. Alumni S1 dari Universitas Gadjah Mada (1996-2001), S2 dari Universitas Indonesia (2005-2008). Sekarang mengajar di beberapa PTS di kota Depok dan DK Jakarta.

 

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Berita Populer