[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Dengarkan Berita”][divide]
Pekanbaru (Nadariau.com) – Konsumen Apartemen Pekanbaru Park yang kini juga bernama Prime Park Hotel diperingatkan untuk tidak melakukan transaksi apa pun dengan pengelola apartemen. Hal itu menyusul telah adanya surat pemblokiran sertifikat tanah di BPN, dan pemblokiran rekening bank milik pengelola di BTN. Otoritas Jasa Keuangan juga sudah menerima pemberitahuan perihal blokir ini.
Demikian diutarakan Kuasa Hukum H Jufri Zubir, Zulfikri Toguan kepada awak media di Pekanbaru, Rabu (09/05/2018). “Kami memberikan peringatan saja, supaya jangan sampai ada kerugian di pihak konsumen di kemudian hari lantaran bertransaksi dengan pengelola Pekanbaru Park ini,” ujar Zulfikri Toguan.
Lebih lanjut Zulfikri mengutarakan, adanya pemblokiran tersebut lantaran properti itu sedang berada dalam proses berperkara di PN Pekanbaru. “Klien kami mengajukan gugatan Perdata ke PN Pekanbaru. Saat ini sedang berproses,” ujarnya.
Terkait proses perkara perdata di PN Pekanbaru itu, Rabu (09/05/2018) berlangsung sidang mediasi. Sidang dipimpin hakim mediasi, Mahyudin. Pihak H Jufri Zubir sebagai penggugat hadir beserta kuasa hukumnya. Sementara pihak Tergugat, Tomi Karya dan H Ony tidak hadir. Tomi hanya diwakili kuasa hukumnya. Sementara pihak Turut Tergugat, PT Pembangunan Perumahan (PP) dihadiri oleh kuasa hukumnya.
Saat berlangsung sidang mediasi, Mahyudin menyatakan bahwa pihak tergugat diminta hadir untuk mencari penyelesaian secara kekeluargaan. Mahyudin mengatakan, jika tidak tercapai kesepakatan pada mediasi, perkara akan lanjut ke tahap persidangan.
Terkait perkara perdata antara H Jufri Zubir dengan Tomi Karya dan H Ony, kasus ini bermula pada tahun 2006, H Jufri Zubir melakukan pinjaman uang di Beringin Srikandi Finance (BSF) sebesar Rp 5 miliar, dengan jaminan tanah Penggugat seluas 10 Ha di Desa Tanah Merah.
Pinjaman tersebut bertujuan untuk pembangunan perumahan, kala itu pinjaman memakai nama PT Osmar, dengan Direktur dijabat Todu Pangabean, dan Penggugat sebagai Komisaris. Untuk diketahui, penunjukan Todu Pangabean sebagai Direktur, adalah atas permintaan dari BSF.
Kemudian, setelah mendapatkan pinjaman, pembangunan perumahan pun terlaksana, namun Todu hanya membayar angsuran sebesar Rp 500 juta kepada BSF. Hingga sampai pada tahun 2011, hutang PT Osmar di BSF tercatat sebesar Rp 11 miliar. Ketika itu, akhirnya Direktur Utama BSF dan tim datang ke Pekanbaru. Mereka bertemu dengan H Jufri Zubir dalam pertemuan itu dibuatlah kesepakatan jaminan tanah 10 Ha di Desa Tanah Merah ditukar dengan tanah Penggugat di Jalan Sudirman Pekanbaru seluas ± 5 Ha untuk pembangunan mal, hotel, dan apartemen.
Dari kesepakatan baru tersebut, BSF menyetujui memberi pinjaman Rp 25 miliar lagi. Disepakati juga hutang Rp 11 miliar hanya dibayar pokok saja sebesar Rp 4,5 miliar. Dengan syarat Erinos ditunjuk oleh BSF sebagai direktur dan Tarman Azam sebagai pemegang saham H Jufri Zubir sebesar 90 persen. Dimana Erinos diberi saham kosong sebesar 10 persen.
Untuk melaksanakan pembangunan mal, hotel dan apartemen itu, maka didirikanlah PT Mitra Nusa Graha. Hal ini karena nama PT Osmar dan nama H Jufri Zubir sudah blacklist di BSF. Selanjutnya, Erinos melanjutkan pengurusan izin dan perencanaan pembangunan mal, hotel, dan apartemen dengan pinjaman baru dari BSF tersebut. Pada saat itu, sertifikat tanah 10 Ha di Desa Tanah Merah pun dikembalikan kepada H Jufri Zubir.
Setelah perencanaan dan perizinan selesai dipersiapkan, maka H Jufri Zubir berkenalan dengan Kepala BIN Malaysia, Dt Zamzamin. Selanjutnya Dt Zamzamin pun memperkenalkan H Jufri Zubir dengan Jenderal Pol Sutanto yang waktu itu sebagai Kepala BIN Indonesia, yang kemudian diundang ke Pekanbaru oleh H Jufri Zubir untuk melihat lokasi pembangunan mal, hotel dan apartemen.
Kala itu, Jenderal Sutanto menyatakan tertarik bekerjasama dan menyatakan kesiapan mencarikan investor. Kala itu, Sutanto langsung menghubungi Cecep, pemilik Panghegar Bandung. Kemudian mereka bersepakat bertemu di Jakarta di rumah Jenderal Polisi Sutanto.
Sepekan setelah itu, diadakanlah rapat di Bank Mayapada Jakarta, saat itu Jenderal Pol Susanto, Cecep, H Jufri Zubir, Tarman Azam, H Onysebagai perwakilan Jenderal Pol Sutanto, Dt Zamzamin, Sofyar selaku perwakilan Cecep, dan Tomi Karya sebagai pengacara H Jufri Zubir.
Menurut H Jufri Zubir, Tomi Karya adalah pengacara H Jufri Zubir yang dsekolahkannya S2, digaji Rp 25 juta per bulan, dikasih saham di perusahaan H Jufri Zubir dan dikasih kebun di Rumbai 50 hektar.
Pada saat rapat di Bank Mayapada, H Jufri Zubir sampaikan ke Jenderal Pol Sutanto bahwa tanah h Jufri Zubir dijaminkan ke BSF untuk pinjaman Rp 25 miliar. Jufri juga menyampaikan apabila Sutanto sudah tebus tanah Di BSF, dan apabila proyek mal, hotel dan apartemen terlaksana, maka Sutanto dikasih saham kosong 50 persen. Saat itu Jenderal Pol Sutanto menyatakan setuju, begitu juga dengan Cecep meyatakan setuju.
Bahwa berhubung masing-masing pihak sibuk, maka mereka menunjuk pelaksana masing-masing. Cecep menunjuk Sofyar, Jenderal Pol Sutanto menunjuk H Ony dan Penggugat menunjuk Tomi Karya sebagai pelaksana.
Da pelaksanaan pekerjaan, H Jufri Zubir meminta Tomi Karya membuat semua perjanjian kerjasama antara H Jufri Zubir dan Jenderal Pol Sutanto. Namun ternyata Tomi Karya membuat perjanjian kerjasama antara Penggugat dengan H Ony. Alasan Tomi Karya waktu itu, apabila proyek jalan, H Ony akan mengembalikan semua perjanjian atas nama Jenderal Pol Sutanto.
Setelah perjanjian dibuat, Tomi Karya meminta surat kuasa dari H Jufri Zubir. Surat kuasa hanya dalam hal pelaksanaan pembangunan mal, hotel dan apartemen, bukan untuk menjual atau mengalihkan saham yang dimiliki H Jufri Zubir atas nama Tarman Azam. Dan ada surat kesepakatan antara H Jufri Zubir, Tarman Azam, Tomi Karya, Dt Zamzamin, bahwa H Jufri Zubir memberikan saham 1,5 persen untuk Dt Zamzamin, Tomi Karya 1,5 persen dan Tarman Azam 2 persen, atas nama PT MNG.
Sedangkan sisanya 85 persen adalah milik H Jufri Zubir. Dalam pelaksanaannya, ternyata H Ony, Tomi Karya, dan Sofyar meminjam uang lagi di BSF senilai Rp 100 miliar, dengan jaminan aset punya H Jufri Zubir sendiri, atas nama PT Panghegar.
Sedangkan kesepakatan H Jufri Zubir dengan Bapak Jenderal Pol Sutanto, dibayar dulu hutang H Jufri Zubir di BSF, dan diambil sertifikat H Jufri Zubir, setelah itu barulah H Jufri Zubir membuat perjanjian kerjasama untuk mal, hotel dan apartemen.
Setelah itu, Tomi Karya H Ony, dan Sofyar tidak pernah mau berhubungan lagi dengan H Jufri Zubir sampai kasus ini H Jufri Zubir laporkan ke polisi, hingga Tomi Karya ditetapkan sebagai tersangka penggelapan, lalu diterbitkan SP3 oleh Polda Riau, lalu Penggugat ajukan gugatan pra peradilan atas SP3 itu, dan majelis hakim pra peradilan memerintahkan membuka kembali kasusnya.
Dan hingga saat ini, yang menjadi tanda tanya besar bagi H Jufri Zubir, kenapa sampai saat sekarang permintaan konfrontir dengan Jenderal Pol Sutanto, Cecep, H Ony, Sofyar dan Saudara Tomi Karya tidak pernah dilakukan penyidik sampai sekarang.
H Jufri Zubir juga pernah mengadukan perkara ini ke DPR RI, dan Komisi III DPR RI sudah pernah menggelar Rapat Dengar Pendapat untuk kasus ini. Tapi dengan kekuatan mereka, mereka berani tidak datang memenuhi undangan III DPR RI .
Sejak tahun 2012 dibuat perjanjian, sampai saat ini penjualan unit apartemen sudah habis, dengan aset yang H Jufri Zubir punya, mereka sudah meraup uang tak kurang dari Rp 300 miliar. Dan H Jufri Zubir tidak pernah dberikan laporan apa pun. H Jufri Zubir hanya pernah diberi pinjaman Rp 2,5 miliar pada tahun 2012.
H Jufri Zubirsudah beberapa kali datang ke rumah Jenderal Pol Sutanto, dan tidak pernah mau menemui H Jufri Zubir. Seharusnya secara etika dan adat ketimuran, H Jufri Zubir tidak pernah berurusan dengan H Ony dalam berbisnis, dan kenapa Jenderal Sutanto tidak mau bertemu dengan H Jufri Zubir? Sampai H Jufri Zubir meminta agar dikonfrontir dengan pihak terlalor oleh penyidik Polda Riau, tapi tidak pernah terwujud.
H Jufri Zubir melakukan Perjanjian Kerjasama pembangunan pusat perbelanjaan, condominium dan hotel dengan Onny pada tanggal 16 Januari 2013.
Dalam perjanjian kerjasama tersebut, tanah milik H Jufri Zubir di nilai dengan harga Rp 2.000.000/ m (dua juta rupiah permeter) dengan pemakaian tanah milik H Jufri Zubir seluas ± 5 hektar, sehingga total keseluruhan adalah Rp 100.000.000.000 (seratus miliyar rupiah).
H Jufri Zubirhanya menerima dan mengakui dana talangan dari H Onny sebesar Rp 37.486.055.834 (tiga puluh tujuh miliyar empat ratus delapan puluh enam juta lima puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh empat rupiah), sehingga sisa pembayaran yang harus diterima H Jufri Zubir sebesar Rp 62.513.944.166 (enam puluh dua miliyar lima ratus tiga belas juta sembilan ratus empat puluh empat ribu seratus enam puluh enam rupiah).
Lahan milik H Jufri Zubir yang terpakai untuk pembangunan pusat perbelanjaan, condominium dan hotel adalah seluas 31.789 M2, maka sisa tanah yang tidak dipakai harus dikembalikan kepada H Jufri Zubir lebih kurang 20.556 M2, karena mutlak milik H Jufri Zubir.
Selain itu, H Jufri Zubir tidak menyetujui hasil laporan uji tuntas (Due Diligence Report) periode 3 Maret 2012 sampai dengan tanggal 2 Agustus 2013, karena hanya berupa laporan audit uang masuk dan keluar, kecuali sesuai dokumen pendukung yang diakui Penggugat.
H Jufri Zubir meminta keadilan atas tindakan penyeludupan hukum yang terjadi terhadap kolaborasi orang-orang tersebut. (rls)