Gambar: Pemuda/i Indonesia berhasil memenangi piala Suhandinata lambang supremasi kejuaraan dunia bulutangkis beregu Yunior. Sumber gambar dari BWF https://bwfbadminton.com/ world-juniors-composed-indonesia-seize-the-moment
Di sebuah seminar yang diadakan BEM Fakultas Ekonomi (sekarang: FEB) UGM Yogyakarta di sekitar tahun 1999, Dr Arief Ramelan Karseno (almarhum tahun 2005) pernah menyebut cara-cara atau “taktik” yang perlu dilakukan Indonesia memenangkan globalisasi. Beliau mengibaratkan kita berkompetisi dalam kejuaraan catur. Dan harus berhadapan dengan negara Rusia di final. Sementara ranking 1-10 perorangan catur dikuasai oleh 3 (orang) pemain Rusia.
Dengan membuat analogi yang bernada jokes, pak Karseno (tahun 2002 menjadi guru besar ekonomi) mengatakan bahwa tim catur kita perlu mencoba agar papan catur dilipat -jadi tinggal separo. Atau dibuat buah catur ialah bidak (pion) semua, siapa tahu kita jadi juara dunia. Prof AR Karseno bermaksud agar negara kita berpikir “out of the box”, dalam rangka menghadapi iklim kompetisi ekonomi dunia.
Kemarin (Sabtu, 05 Oktober 2024) tim yunior kita menjadi juara dunia untuk beregu campuran. Lawannya adalah tuan rumah Tiongkok, tim raksasa yang telah 14 kali merebut trofi Suhandinata Cup. Bandingkan dengan tim kita yang baru sekali meraih juara beregu yunior. Demikian pula Malaysia yang baru 1 (satu) kali mendapatkan di tahun 2011. Sedangkan Korea pernah 3 (tiga) kali menjadi juara, semenjak diselenggarakan kejuaraan beregu yunior ini di tahun 2000.
Barangkali relevan dengan pernyataan almarhum Prof Karseno di atas. Kalau memakai skor “biasanya” maka bisa jadi tim bulutangkis Tiongkok akan menjadi juara lagi. Skor biasa beregu campuran adalah layaknya kejuaraan piala Sudirman, dengan memainkan semua nomor dalam bulu tangkis, 5 (lima) partai. Namun untuk pertama kalinya di kejuaraan beregu bulutangkis ini, federasi bulutangkis dunia -yaitu Badminton World Federation atau BWF- memberlakukan skor yang unik. Disebut dengan relay point (bukan rally point) atau sistem estafet.
Di Suhandinata Cup 2024 ini partai menjadi 10 buah, yang selama ini 5 (lima) saja. Artinya tiap partai dilipatduakan, akan tetapi game-nya di angka 11 (bukan 21). Sehingga partai tunggal ada 4 (empat) yaitu masing-masing 2 (dua) tunggal putra/ putri. Kemudian partai ganda ada 6 (enam), terdiri dari ganda putra/i dan campuran masing-masing 2 (dua) pasang. Pemenangnya adalah bila akumulasi poin dari kesepuluh partai mencapai angka 110.
Semalam Indonesia menang tipis 110-103 atas Tiongkok. Lebih “ngeri” lagi pada saat semifinal, kita hanya menang 110-105 melawan tim Jepang. Dengan kemenangan ini, maka Indonesia mencatatkan diri sebagai negara yang 2 (dua) kali menjadi juara beregu yunior, mendekati Korea Selatan yang 3 (tiga) kali.
Mengapa kita bisa menang lawan Tiongkok -dan juga Jepang? Bisa jadi sistem skor baru ini sangat berpengaruh, dan banyaknya variasi pemain dalam 10 partai. Kalau memakai skor biasa, pemain dituntut untuk menang 21 poin, atau bisa deuce (maksimal 30), dan tidak mengenal rubber game. Artinya stamina kuat tidak begitu dibutuhkan. Selain itu, kemerataan pemain kita (dan kuantitas lebih banyak daripada negara lain) menjadi faktor kunci. Hipotesis ini memang perlu dibuktikan dalam pekan ini. Tepatnya tanggal 07-13 Oktober di kota yang sama -wilayah Nanchang, Tiongkok- akan diperebutkan medali individual.
Jawaban lainnya mengapa kita bisa menang di kandang macan ini adalah, PBSI telah mempersiapkan pemain sejak tahun 2022. Beberapa pemain yang tampil pada final 2023, seperti Mutiara Ayu Pusputasari, Dexter Ferrel, dan Wahyu Agung Prasetyo mendapat kesempatan kedua untuk juara saat berhadapan dengan lawan yang sama dalam final, setahun kemudian. Mutiara, yang ditunjuk sebagai kapten tim, bahkan memperkuat Indonesia pada Piala Suhandinata 2022.
Ini memang sebuah prestasi. Gelar dari kejuaraan untuk atlet-atlet di bawah usia 19 tahun ini menjadi yang kedua bagi Indonesia, yang berarti kita perlu menunggu 5 (lima) tahun lamanya. Tahun lalu kita juga nyaris juara namun lagi-lagi kepentok sama tim China. Tahun 2022 kita kalah di partai semifinal. Tahun 2023 Indonesia memiliki kesempatan juara saat lolos ke final di Spokane, Washington, Amerika Serikat. Akan tetapi, Alwi Farhan dan kawan-kawan kalah 1-3 dari China di final dalam persaingan yang memainkan semua nomor dalam bulu tangkis, sama seperti kejuaraan Piala Sudirman. Sewaktu menjadi juara dunia yunior tahun 2019, tim “Merah Putih” diperkuat pemain-pemain yang saat ini bersaing dalam ajang BWF World Tour, seperti Febriana Dwipuji Kusuma/Amalia Cahaya Pratiwi, Putri Kusuma Wardani, dan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin yang juga menjadi juara dunia yunior ganda putra pada penampilan perorangan.
Tanpa bermaksud mengendorkan semangat pemain dan juga pelatih serta pengurus PBSI, ujian yang sebenarnya adalah saat mereka menginjak senior nanti. Pemain Indonesia asal Pasar Kliwon (Solo), Alwi Farhan pernah menjadi juara dunia yunior untuk tunggal putra di tahun 2023. Namun prestasi di senior kalah dengan Alex Lanier (Perancis) yang usia sama dengan Alwi, karena Alex kemarin berhasil menjadi juara di Jepang Terbuka. Atau pasangan Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin yang cukup seret prestasi -sehingga tidak masuk kualifikasi Olimpiade Paris 2024- sehingga perlu dipecah dan dipasangkan dengan senior mereka -yakni Bagas Maulana dan Muh Shohibul Fikri. Kita berharap Alwi Farhan dan Leo pun Daniel akan menemukan puncak prestasinya tahun depan atau 2 (dua) tahun lagi.
Terimakasih perlu kita ucapkan kepada para pemain yunior kita di partai final. Pemain tunggal putri kita Mutiara Ayu Puspitasari, ganda putri Isyana Syahira Meida/ Rinjani Kwinara Nastine, ganda campuran Darrel Aurelius/ Bernadine Anindya Wardana, tunggal putra M. Zaki Ubaidilah dan ganda putra Anselmus Bragit Fredy Prasetya/Pulung Ramadhan. Tantangan terdekat masih belum selesai, yakni tampil dalam kejuaraan kategori perorangan. Sebanyak 18 pemain belia kita akan tampil pada 7-13 Oktober ini di kota yang sama. Semoga sukses.
ditulis oleh Yuniandono Achmad, S.E., M.E., pemerhati olahraga dari Bogor