GAMBAR dari https://bwfbadminton.com/news-single/2024/07/05 Susy Susanti meraih emas olimpiade barcelona 1992 tatkala pertama kali bulutangkis dipertandingan
Para badminton lovers mungkin banyak yang merasa kelewatan momen, bahwa pada tanggal 5 Juli kemarin organisasi bertajuk BWF atau Badminton World Federation telah menginjak usia yang ke-90. Bagi pecinta bulutangkis tanah air, yang menarik terkait cover utama berita yang dipakai oleh BWF untuk memperingati ultahnya ke-90 tersebut. Ia adalah gambar cik Susy Susanti tatkala memenangkan emas olimpiade Barcelona tahun 1992. Meski bila dilanjutkan bacaan BWF itu ada bagian yang “missed” atau hilang, yaitu tidak dibicarakannya peran “mr Dick” Sudirman dalam tonggak sejarah penyatuan organisasi badminton dunia ini saat hampir menuju perpecahan.
Organisasi bulutangkis dunia ini awalnya bernama IBF atau international badminton federation yang dibentuk pada tahun 1934. Namun bila dari akar sejarahnya, Inggris telah memulai organisasi berupa klub dengan nama Badminton Association pada bulan September 1893 -yang ditujukan untuk mewujudkan keseragaman aturan permainan. Meskipun Asosiasi Bulu Tangkis ini hanya menyelenggarakan permainan bultang ini di Inggris, sejumlah klub luar negeri telah berafiliasi.
BWF memulai narasi ultahnya dengan kalimat “Ninety years old, much travelled and evolved, but still reinventing itself all the time” yang berarti kurang lebih: Berusia sembilan puluh tahun, banyak langkah yang sudah dilakukan dan telah berevolusi. Akan tetapi masih terus berupaya menemukan jatidirinya, terus sepanjang waktu. Saat ini bulutangkis setidaknya digemari oleh bulutangkis mania sebanyak 709 juta (hasil riset Nielsen), dengan 392 juta orang memainkan olahraga ini setidaknya sekali seminggu. Kemudian terdapat lebih dari 16 juta pengikut secara global di saluran media BWF. Ini menjadikan sebagai salah satu olahraga yang paling banyak diikuti di dunia -versi BWF.
Walaupun pernyataan popularitas itu masih debatable dalam hal ini, karena beberapa media menyatakan bahwa bulutangkis tidak masuk 10 besar popular. Masih kalah dengan sepakbola, tenis, basket, kriket, rugby, hoki, bola voli, bisbol, golf, bahkan tenis meja.
Dari sisi hadiah atau prizemoney bagi pemain, membandingkan antara Wimbledon (tenis) dan All England (bulutangkis) yang dua-duanya terselenggara di Inggris, kayak bagaikan langit dan bumi. Memang Wimbledon terselenggara lebih dahulu 22 tahun (tepatnya 1877), namun untuk hadiah pemain tunggal putra saja yang sebesar Rp 40 milyar, adalah dua kali lipat total yang disediakan Wimbledon untuk 5 (lima) nomor. Kemarin ganda putra kita Fajar Alfian/ Rian Ardianto yang menjadi juara All England, mendapat hadiah sekitar Rp 1 Milyar, alias seper empatpuluh uang yang dibawa single Carlos Alcaraz. Petenis Spanyol ini tahun lalu menggondol poundsterling sebanyak £2,350,000, atau sekitar $2,741,726, yang mendekati Rp 42 milyar.
Tragisnya, sepekan sebelum ultah BWF, kabar duka menyeruak dari GOR Amongrogo Yogyakarta. Pemain Yunior asal Tiongkok bernama Zhang Zhi Jie meninggal dunia saat bertanding di ajang Badminton Asia Junior Championship (AJC) 2024. Perlu menjadi kajian bagaimana agar kejadian ini tidak terulang. Peraturan memang sudah straight bahwa tanpa izin wasit maka tim medis belum boleh masuk lapangan. Namun ada sedikit perbedaan dengan cabor tenis. Ada sebuah kejadian di youtube, ketika seorang pemain tenis lawan boleh memasuki lapangan musuhnya untuk memberi pertolongan kepada kawan yang cedera ini. Sementara di bulutangkis, hal itu tidak diperbolehkan -alias harus persetujuan wasit terlebih dahulu.
Walaupun di ajang tenis pernah juga ada kejadian yang memilukan, tepatnya tahun 1993. Waktu itu pertandingan final tenis di Jerman mempertemukan pemain tuan rumah Steffi Graf melawan Monica Seles. Salah seorang penonton melompat dari tribun kemudian mencoba menghunuskan pisau belati ke punggung Seles. Untung hanya cedera, namun berbulan bulan proses penyembuhan psikis Seles untuk menerima kenyataan tersebut.
Kembali ke persoalan popularitas. Memang belum masuk 10 besar olahraga terpopuler di dunia, tetapi badminton sepertinya on the right track untuk menjadi olahraga yang ngetop. Keunggulan bulutangkis adalah waktu nonton yang efisien. Untuk melihat partai final di 5 (lima) partai, hanya berkisar 4 (empat) jam. Sekitar jam 13.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB.
Selain itu erobosan lain dari BWF yang fenomenal misalnya soal skor bulutangkis. Dimulai dari tahun 2006 yang merubah skor dari 15 menjadi rally point 21. Kemudian mengadakan turnamen series dan superseries (misalnya Indonesia Open, All England dan China Open). Kompetisi bulutangkis juga telah mewadahi para disabilitas atau disebut dengan paralympic games.
Mungkin di Eropa atau Amerika (apalagi Afrika) bulutangkis bukan merupakan cabor -atau: cabang olahraga- yang favorit. Namun di Asia -terutama Asia Tenggara- bisa jadi hanya sepakbola yang mengalahkan popularitas badminton. Setahun yang lalu sewaktu Indonesia menjadi keketuaan ASEAN, peluang itu sangat ada. Namun tidak dimanfaatkan dengan baik. Adakan Asean CUP atau piala Asia Tenggara yang bisa diikuti oleh negara di luar Asean. Selain itu, perlu adakan kejuaraan antar klub Asia Tenggara. Markas BWF yang dipindah dari London ke Kuala Lumpur (di tahun 2000an) sangat erat kaitannya dengan banyaknya fans dan supporter di Kawasan Asia Tenggara.
Perihal klub ini yang belum digarap oleh BWF. Kompetisi selama ini baru individu. Dan individu itu pun belum ada peringkat individu -untuk ganda (baik putra, putri, maupun campuran).
Suatu saat di tahun 2001, saya mendapat kesempatan untuk berbincang dengan pak Titus Kurniadi. Beliau mantan pengurus PBSI, mantan ketua pantia Thomas Uber Cup tahun 1986, dan inisiator buku “Rudy Hartono: Rajawali dengan Jurus Padi”. Pak Titus mengatakan bahwa olahraga bulutangkis inilah yang membuat nama Indonesia menjadi terkenal di dunia. Sehingga kalau bisa penerbangan Garuda ada rangkaian miniatur shuttlecock yang menjadi penghias di dalam pesawat.
Saat ini BWF dipimpin oleh Poul Erik Hoyer Larsen, mantan pebulutangkis Denmark di era 90an. Prestasi puncak Poul Erik ketika olimpiade Atlanta 1996 meraih emas di usia 30 tahun. Tahun 2000-pun Poul Erik H Larsen masih bermain di Olimpiade Sidney namun sudah gugur di babak kedua.
Di bulutangkis setidaknya ada 2 (dua) nama orang Indonesia yang dijadikan nama piala. Pertama adalah Piala Sudirman untuk beregu campuran. Dan piala Justian Suhandinata untuk piala beregu yunior. Keduanya merupakan tokoh sentral yang menyatukan negara-negara non Tiongkok dan non China Taipei untuk kembali bergabung dengan IBF di era tahun 1978-1981. Uniknya diplomasi salahsatunya dilakukan di hotel Borobudur, Jakarta.
Usia 90 tahun BWF -saat bagi PBSI untuk berterimakasih. Cabor inilah yang mengangkat nama NKRI di saat awal kemerdekaan (tahun 1959 Tan Joe Hok juara pertama kali All England), kemudian saat peristiwa 1965 (PBSI menjadi runner up kejuaraan Thomas tahun 1967, setelah juara di tahun 1964), dan saat krisis moneter tahun 1998. Kisah heroik di tahun 1998 saat kerusuhan terjadi di beberapa kota Indonesia. Tim Thomas dan Uber sedang berjuang di partai final, yang akhirnya menjadi juara. Tidak terbayangkan kondisi terburuk zaman itu. Ada kerusuhan etnis, sementara kebanyakan pemain kita adalah pemain keturunan dan belum kewarganegaraan penuh.
Kalau asal bulutangkis adalah kota Badminton di Inggris, sehingga mereka bisa mengklaim diriya sebagai the moderland of badminton. Ibu dari lahirnya bulutangkis dunia. Mungkin dengan konsentrasi pada pengembangan klub, dan nantinya membuat jadwal rutin pertandingan antar klub, ditambah jutaan fans badminton, Indonesia bisa menyebut dirinya sebagai the fatherland of badminton.
penulis: YUNI ANDONO ACHMAD, S.E., M.E., pemerhati bulutangkis yang tinggal di kabupaten Bogor, prov Jawa Barat.