Pekanbaru (Nadariau.com) – Kejaksaan Tinggi Riau bekerjasama dengan Program Pascasarjana Universitas Islam Riau menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menguji sahih Rancangan Undang Undang Perubahan Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
FGD yang berlangsung selama empat jam lebih pada Rabu (30/09 2020) dibuka oleh Direktur PPs Prof Dr H Yusri Munaf SH, MHum dan menghadirkan Dr Muzakkir SH, MHum (Dosen Fakultas Hukum UII) sebagai pembicara utama.
Turut dalam diskusi terbatas yang dipandu Dr Musa, SH, MH dan H Husnu Abadi, SH, MHum, PhD sejumlah dosen dan praktisi hukum. Antara lain Yusri Sabri SH, MH, Abdul Haris Rusli, SH, MH dan Toni Pribadi SH MH (Advokat/Peradi).
Kemudian Dr Zulkarnain Sanjaya, SH MH dan Dr Heni Susanto, SH, MH (Fakultas Hukum UIR), Dr Erdianto Effendi dan Dr Maxsasai Indra SH MH (Fak. Hukum Universitas Riau), Muhammad Darwis SH MH (UIN Susqa), Robert Libra SH MH (Fak. Hukum Unilak), Dr Irfan Ardiansyah SH MH (STIH Persada Bunda.
Kajati Riau Dr Mia Amiati bersama Staf juga terlibat aktif menyimak jalannya FGD dari Kejaksaan Tinggi Riau di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru.
Sementara Rektor Prof Dr Syafrinaldi dan Dekan Fakultas Hukum UIR Dr Admiral SH MH juga melakukan hal sama melalui saluran youtube yang ditayang on live.
Dalam paparan bertajuk, ‘Pengingsutan Paradigma Kewenangan Kejaksaan Dalam Ketentuan RUU Perubahan Kejaksaan RI’ Muzakkir mengulas beberapa point terkait kewenangan jaksa.
Seperti masalah independensi kejaksaan yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya, domonus litis, kejaksaan sebagai badan peradilan,
kejaksaan sebagai single prosecutors, kewenangan penyadapan dan pengawasan.
Dalam pandangan Muzakkir, tidak ada perubahan secara total atas kewenangan jaksa dalam RUU Kejaksaan.
Namun ia mengaku memberi attensi atas rancangan undang-undang itu karena masalah revisi ini terkait juga dengan Rancangan Undang Undang KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) dimana dirinya ikut serta dalam tim.
”RUU KUHAP mau tidak mau menggeser sejumlah kewenangan kejaksaan yang menjadi bagian dari RUU Kejaksaan,” kata ahli pidana UII Yogyakarta itu.
Ia kemudian merujuk kepada Pasal 24 UUD 1945 terutama terkait dengan kewenangan kekuasaan kehakiman.
Menurutnya, kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD 1945 diatasi oleh dua lembaga tinggi, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Jaksa merupakan supporting dari kekuasaan kehakiman yang separoh bodynya ada di kekuasaan kehakiman dan separoh lainnya berada di eksekutif.
”Ketika jaksa menjalankaan kekuasaan di peradilan maka itu berarti ia menjalani kekuasaan kehakiman dalam wilayah eksekutif,” tukas Muzakkir.
Konsekuensinya jaksa harus menundukkan diri kepada Pasal 24 UUD 1945, yakni merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka dari kekuasaan manapun.
Tanggung jawabnya adalah tanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Ia tidak tunduk kepada atasan dan harus bekerja secara profesional sebagai jaksa penuntut umum. Serta pro pada penegakan hukum.
Sebagai penuntut, Muzakkir menyatakan, Jaksa memiliki karakter sama seperti hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Ia bertugas mensuplay material perkara kepada peradilan, dan mensandarkan tuntutannya kepada ‘Demi Ketuhanan Yang Maha Esa’.
”Output dari tuntutan jaksa harus menjadi input bagi peradilan,” ucap Muzakkir.
Muzakkir lalu mengulas sejumlah pergeseran kewenangan kejaksaan yang terdapat RUU. Hal senada disampaikan peserta FGD. Abdul Harris Rusli, misalnya, sependapat bila jaksa adalah penuntut tunggal.
Tetapi ia tidak setuju dengan materi RUU yang juga memberi jasa hukum kepada jaksa. Ini berbeda dengan kewenangan jaksa sebagai pengacara negara.
”Soal penahanan, kami minta supaya kewenangannya diberikan kepada hakim. Bukan kepada jaksa. Sebab penahanan itu merupakan perampasan hak seseorang, dan hal tersebut hanya dapat diberikan kewenangannya kepada hakim,” ucap Advokat Haris.
Begitupun Zulkarnain Sanjaya. Selain menyoroti masalah keadilan retributif yang telah bergeser ke keadilan restoratif, Dosen Fakultas Hukum UIR ini mengusulkan perlunya dipertimbangkan kembali pemberian kewenangan penyadapan kepada jaksa. Sebab masalah ini terkait dengan hak asasi manusia.
”Jaksa harus tetap profesional bertugas, jangan sampai pelaksanaan tugasnya melanggar hukum,” imbuh Zulkarnain.
Direktur PPs UIR Prof Yusri Munaf mengatakan, semua pemikiran yang berkembang selama FGD akan menjadi masukan untuk pembahasan perubahan RUU Kejaksaan.
”Ini merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai akademisi dan penegak hukum dalam memberi pemikiran terbaik bagi bangsa dan negara,” kata Yusri Munaf. (ind)