Sabtu, Maret 15, 2025
BerandaIndeksEkonomiMENILIK PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMILU

MENILIK PERANAN PEREMPUAN DALAM PEMILU

oleh : Dedi Iskamto

Indonesia merupakan Negara pertama di kawasan Asia-Pasifik yang membentuk kementrian khusus untuk meningkatkan peran perempuan. Berbagai kegiatan perempuan yang muncul sejak pemerintahan Orde baru baik organisasi profesi maupu ikatan kerja suami, PKK, Kowani, dll. Hal tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan partisipasi politik perempuan yang semakin besar dan telah banyak membantu melaksankan program-program pemerintah. Berbagai jabatan politis telah dicapai seperti menjadi menteri, anggota parlemen, ketua partai, bupati, camat, lurah dll. Tetapi jika dilihat dari jumlah maupun pengaruhnya dalam perumusan kebijaksanaan nasional sangatlah kecil.

Keterlibatan perempuan di kancah politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam pembangunan telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan, ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Dalam sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia, terdapat tokoh-tokoh perempuan seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, dsb. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Di bidang lain ada perempuan yang berjuang untuk merebut kemerdekaan RI seperti Cut Nyak Dhien, Maria Tiahuhu, Yolanda Maramis, dan sebaginya.

Keterlibatan perempuan dalam urusan politik pada masa kini sangat berbeda dengan kondisi perempuan dimasa lalu. Perbedaan itu bisa karena kondisi sosio-kultur maupun perkembangan zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum hawa inilah yang nampaknya membuat kaum pejuang feminis menjadi geram. Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang.

Partisipasi perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Partisipasi perempuan dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterwakilan perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat.

Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni hambatan internal dan hambatan eksternal.

Hambatan internal berupa keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan soso-kultural mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang politik. Aktivitas dianggap tidak layak bagi perempuan, karena sifat-sifatnya yang jauh dari citra perempuan. Dunia politik di anggap “keras”, “kotor”, dan penuh dengan muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra perempuan. Lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan, antara lain wawasan orangtua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga, dan system penddidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada penguasaan factor social ekonomi menyebabkan terbentuknya image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria. Kendala eksternal antara lain dari birokrasi yang paternalistik, pola pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain berada pada lingkungan sosial budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan. Selain itu dapat pula bersumber dari kebijaksanaan pembangunan politik yang kurang memadai serta kurang berfungsinya partai politik. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat diupayakan antara lain dengan melalui pendidikan politik yang mampu menciptakan kemampuan dan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di bidang politik. Dalam hal ini memang tidak terlepas dari keberadaan laki-laki yang secara luas mendominasi arena politik, laki-laki sangat dominan dalam memformulasikan aturan-aturan permainan politik; dan laki-laki lah yang sering mendefinisikan standar untuk evaluasi.

Kendati berbagai perangkat hukum telah melegitimasi partisipasi politik perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya di mana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki.

(Penulis adalah Praktisi Kepemiluan) 

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Berita Populer