Commonwealth Games & Pengaruhnya bagi PBSI

Gambar: Koong Le Pearly Tan, dan Muralitharan Thinaah, setelah mengalahkan Treesa Jolly and Gayathri Gopichand Pullela. Foto ©Getty Images dari https://www.insidethegames.biz/articles.

penulis: Yuniandono Achmad*)

SEKITAR tahun 2007 atau 2008 saya pernah bertemu dengan Direktur Program Pasca Sarjana UGM (saat itu) Prof Irwan Abdullah. Beliau dengan nada berseloroh mengatakan bahwa ketidakmajuan negara kita salahsatunya adalah karena “salah memilih penjajah”.

Sebagai bahan perbandingan, katanya lebih enak dijajah Inggris. Minimal negara yang pernah dijajah Inggris itu penduduknya diajarkan bahasa Inggris, jadi speaking in English-nya lebih baik. Beberapa politisi Indonesia -yang bisa digoogling beritanya- mengatakan bahwa Inggris di era lampau memberi pelajaran bagaimana menjalankan birokrasi yang baik. Itu terbukti secara baik kepada birokrat India dan Malaysia. Kemudian pengamat lain mengatakan bahwa Inggris mewariskan pendidikan yang baik bagi negara eks jajahannya.

Saya tambahi satu hal lagi. Bahwa dijajah Inggris lebih enak -karena mereka bikin Commonwealth Games. Ya pesta olahraga persemakmuran yang dihelat 4 (empat) tahun sekali. Saat ini pertandingan layaknya olimpiade masih berlangsung di Birmingham, Inggris. Pemilihan tuan rumah ini bisa bergilir diantara eks jajahan Inggris. Mirip penentuan tuan rumah ajang multi event, ada beberapa negara yang mengajukan diri, kemudian dipilih suara terbanyak. Seperti misalnya Malaysia pernah menjadi tuan rumah Kamenwel (demikian bahasa Melayu menyebutnya) pada tahun 1998. Lalu Australia pada tahun 2018 bertempat di Gold Coast.

Setidaknya terdapat 56 negara anggota persemakmuran, mereka adalah negara yang pernah dikuasai Inggris. Beberapa negara besar di dunia olahraga yang mengikuti “pesta sukan Kamenwel” ini adalah Australia, Kanada, Selandia Baru, India, Nigeria, Kenya, Skotlandia, Wales, Malaysia, Singapura, Kamerun, dan tentunya tuan rumah Inggris.

Salah satu cabang yang diselenggarakan adalah bulutangkis. Kemarin telah selesai beregu campuran, dengan Malaysia menjadi juara setelah menumbangkan India 3-1. Ini sebagai pembalasan karena tahun 2018 lalu Malaysia kalah di final beregu -lagi lagi- melawan India.

Memang agak unik bahwa untuk emas beregu yang diperebutkan adalah beregu campuran, mirip dengan Sudirman Cup. Event multicabang lain -misalnya Asian Games- ada juga perebutan beregu bulutangkis, yaitu beregu putra dan beregu putri -mirip dengan Thomas/ Uber Cup. Sementara Olimpiade tidak menyediakan emas untuk beregu.

Kembali ke final beregu Commonwealth games, Malaysia merebut skor pertamanya melalui ganda putra Aaron Chia/ Soh Woi Yik, yang mengandaskan Satwiksaraj Rankireddy/ Chirag Shetty dengan straight game atau dua set langsung. Kemudian India menyamakan skor 1-1 melalui Pusarla Sindhu yang mengahkan Goh Jin Wei. Selanjutnya Ng Tze Yong, pemain usia 22 tahun, mengalahkan pemain kawakan India, Srikanth Kidambi dengan sengit, rubber game. Terakhir pasangan ganda putri Malaysia Pearly Tan/ Thinaah Muralitharan menggenapi kemenangan atas India menjadi 3-1.

Di cabor bulutangkis Kamenwel praktis hanya 4 (empat) negara yang memiliki akar sejarah bagus badmintonnya. Yaitu Malaysia, India, Inggris, dan Singapura. Namun kemenangan memang tetap kemenangan. Meski minus Tiongkok, Indonesia, Jepang, dan Denmark, walaubagaimanapun Malaysia tetap pantas merayakannya. Setelah Tan/ Thinaah memastikan kemenangan beregu Malaysia, maka berhamburanlah pemain Malaysia dan official untuk merayakan kejayaan mereka itu di tengah lapangan. Gerakan putaran melingkar dengan berangkulan dan bersandar bahu masing masing dilakukan secara gembira. Beberapa pemain Malaysia mencoba melakukan victory lap dengan membawa bendera kenegaraan mereka -bendera Jalur Gemilang yang bercorak 14 garis (jalur) merah dan putih yang melintang.

Selepas acara kemenangan, seorang Ng Tze Yong tidak mampu melukiskan dengan kata-kata akan kegembiranaannya di depan reporter yang mewawancarainya. Speechless., sambil tertawa gembira.

Sementara pemain India bernama Srikant Kidambi -pemain nomor dua India setelah Lakshya Sen- pun sampai meneteskan air mata penyesalan pasca kekalahannya. Barangkali kekalahan yang menyesakkan. Karena jauh diunggulkan dari segi peringkat, dan pengalaman Srikant saat mengalahkan Jonatan Christie di final Thomas beberapa bulan lalu. Namun ternyata Srikant kalah cerdik. Ng Tze Yong sepertinya sengaja membuang set kedua, dengan maksud menguras habis stamina Srikanth. Set kedua Yong kalah 6-21, mungkin kekalahan telak itu yang membuat Srikanth semakin PD habis (pd= percaya diri). Tapi sejurus kemudian Ng Yong mampu merebut set ketiga dengan 21-16. Kidambi takluk oleh pemuda yang usianya 7 (tujuh) tahun dibawahnya.

Bagi pelatih Malaysia, Rexy Mainaky, keberhasilan ini juga memperpanjang nafas kepelatihannya. Setelah rangkaian super series yang zonk bagi tim perorangan Malaysia di tahun 2022 ini, bahkan ketika mereka menjadi tuan rumah Malaysia Master dan Malaysia Open, mungkin keberhasilan di beregu Commonwealth ini menjadi obat penawar rasa pahit. Demikian pula kredit point bagus bagi coach Hendrawan. Setelah cederanya Lee Jii Zia, telah siap pemain putra pelapis yaitu Ng Tze Yong yang merupakan anak didik Hendrawan. Hendrawan telah membuktikan tangan dinginnya. Pemain nomor satu Malaysia Lee Jii Zia juga dimunculkan oleh pelatih asal Kera Ngalam ini. Sebelumnya, ketika melatih Pelatnas, Hendrawan pula yang mendampingi pemain single putri kita Maria Kristin Yulianti yang merebut perunggu di Olimpiade Beijing tahun 2008.

Setelah ajang beregu, Commonwealth games nanti akan berlanjut ke event perorangan. Tahun 2018 Malaysia mendapat gelar tunggal putra melalui Lee Chong Wei. Untuk tahun ini barangkali Lakshya Sen (India) dan Loh Kean Yew dari Singapura yang akan bersaing keras. Sebagai kuda hitam adalah Ng Tze Yong dari negeri jiran.

Namun adakah sisi negatif perhelatan Commonwealth ini? Bisa jadi ada. Misal kita ambil contoh Malaysia. Lebih khusus lagi cabang olahraga (cabor) bulutangkis. Mungkin menjawab pertanyaan: Mengapa belum ada pemain Malay yang mendapat emas Olympic (paling banter perak) selama ini? Jawabnya, mereka telah puas menjadi juara di ajang pesta Persemakmuran. Tak nak olympic pun tak ape -cakap Melayu bilang begitu mungkin ya.

Jejak digital lain bisa ditelusur ketika coach Rexy Mainaky mengatakan bahwa Malaysia berpeluang besar mendapat kejuaraan beregu Thomas Cup dengan berbagai syarat. Minimal sekarang mereka sudah mendapatkan emas beregu, yakni Commonwealth ini.

Bagi kita kemenangan Malaysia pantas untuk diwaspadai dalam Sudirman Cup tahun depan. Dengan catatan: seandainya ketemu. Tahun lalu kita disingkirkan Malaysia di perempat final Sudirman dengan 2-3. Walaupun kekalahan di Sudirman itu terasa impas karena sekitar sebulan berikutnya kita mendapat piala Thomas dengan gantian menyingkirkan Malaysia di perempat final dengan 3-0.

Seandainya kita ketemu Malaysia di Sudirman Cup lagi, maka mereka telah memiliki Ng Tze Yong yang semakin matang, dan ganda Tan Pearly/ Thinaah yang akan semakin dewasa. Lalu Goh Jin Wei kembali menjadi pemain nomor satu tunggal putrinya. Kemudian Lakshya Sen (India) yang diisukan mundur dari dunia bulutangkis dan mau menekuni entrepreneurs, ternyata masih tampil juga (di semifinal beregu menang melawan Loh Kean Yew). Intinya tahun depan persaingan makin sengit. PBSI harus siap.

*) penulis adalah pengamat olahraga yang tinggal di Bogor. Berprofesi sebagai dosen dari sebuah PTS di jalan Margonda kota Depok. Sampai dengan bulan Juli kemarin masih menjadi konsultan di sebuah Kementerian/ Lembaga di Jakarta. Alamat IG di andonoachmad dan FB di yuniandono.