Minggu, Juni 15, 2025
BerandaIndeksOlahragaAkankah IO tanpa gelar dan tanpa penonton?

Akankah IO tanpa gelar dan tanpa penonton?

OLEH: Yuniandono Ahmad Gambar: Pasangan ganda putri, Rachel Allessya Rose/Meilysa Trias Puspitasari tersingkir di babak pertama Indonesia Open 2025 kalah dari pasangan Taiwan, Hsieh Pei Shan/Hung En-Tzu 14-21, 21-17, 15-21

SAAT tulisan ini disiapkan ke pembaca, turnamen Indonesia Open (IO) 2025 baru beberapa jam terhelat. Apabila melihat runtutan sejak sebulan ini -dari Thailand Open, Malaysia Master dan Singapore Open- maka rentetan tanpa gelar pemain kita bisa jadi berlanjut. Meski itu adalah kemungkinan terburuk. Seorang teman yang tidak perlu disebut nama mengungkapkan bahwa saat-saat sekarang ini tidaklah perlu untuk banyak berharap akan prestasi pemain kita.

Jadi teringat kata-kata hikmah dari Kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius (121–180 M), yang pernah berujar “Ne speres, ne doleas”. Kalimat dalam bahasa latin yang artinya “do not hope, so you won’t grieve”, jangan terlalu berharap agar tidak kecewa. Para penggemar olahraga tepok bulu untuk saat ini jangan terlalu banyak berharap dulu. Pada taraf minimal, bolehlah berharap IO 2025 berlangsung lancar dan sukses. Itu saja.

Selain prestasi yang nir gelar, ditambah daya beli masyarakat menurun. Dilihat dari pernyataan ketua panitia turnamen, saudara Armand Darmadji yang mengatakan bahwa ada penurunan minat dan pembelian tiket pertandingan IO 2025. Dibandingkan tahun 2023 yang terjual sampai 90 persen (padahal pertandingan masih babak awal) tahun ini hanya 70 persen.

Apa kaitannya merosotnya jumlah penonton bulutangkis dengan kondisi ekonomi? Menurut hemat saya pada “penurunan daya beli”. Saat ini terjadi deflasi berkepanjangan yang menandakan sebagian besar masyarakat menahan belanja. Ada sinyal-sinyal mekanisme demand pull inflation tidak bergerak naik. Artinya penduduk besar, tapi sebagian besar pada menahan belanja. Artinya konsumsi rumah tangga semakin melambat.

Bila dilanjutkan lebih dalam lagi, penyebab utama penurunan daya beli ini karena adanya beberapa sektor mengalami yang mengalami penurunan kinerja. Seperti akomodasi, makan minum, dan travel. Beberapa pengamat mengatakan hal itu akibat dari efisiensi (pemerintah) sehingga tidak ada income dari sektor swasta.

Kemudian terkait data pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasar data BPJS Ketenagakerjaan, sejak awal tahun hingga Maret 2025 sebanyak 73.992 orang berhenti dari kepesertaan karena terkena PHK. Total sebanyak 257.471 orang peserta BPJS Ketenagakerjaan tercatat berhenti dari kepesertaannya.

Apesnya, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 diproyeksi kembali tidak sampai 5 persen. Bank Dunia juga telah merevisi growth Indonesia ke 4,8 persen. Capaian ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya ataupun periode yang sama tahun lalu. Artinya ada indikasi gejala pertumbuhan ekonomi melambat di kuartal II-2025

Terkait efisiensi anggaran pemerintah ini, pernyataan dari Wakil Menpora -sekaligus Waketum 1 PBSI- bung Taufik mengatakan bahwa PBSI sangat terdampak. Meski PBSI bertekad untuk tetap menjalankan program Pelatnas walaupun ada efisiensi anggaran dari pemerintah. PBSI berusaha mencari solusi lain untuk tetap menjalankan program pembinaan atlet, seperti menggandeng pihak swasta melalui tanggung jawab sosial dunia usaha atau CSR.

Bagi saya pribadi yang tampak jelas adalah jumlah pengiriman pemain menurun, seperti yang terjadi pada turnamen Singapore Open sepekan yang lalu, hanya 5 (lima) wakil yang dikirim.

Bagi orang yang pernah mendalami ilmu ekonomi, saat inilah upaya untuk “optimalizing under constraint” harus diutamakan. Mengingat anggaran Kemenpora dipotong hampir mendekati 55 persen, kemudian sektor manufaktur, perdagangan dan swasta juga under performed. Sayangnya bulan April lalu digelontorkan dana sebesar Rp 407,7 miliar untuk dukungan pemusatan latihan jangka panjang 13 cabang olahraga menuju Olimpiade dan Piala Dunia, eh kok malah yang terbesar ke cabang sepakbola.

Seperti diketahui dari 13 cabang olahraga (cabor) yang mendapatkan dana pelatnas, 12 di antaranya merupakan cabang yang mengirimkan wakilnya di Olimpiade Paris 2024. Mereka adalah panjat tebing, angkat besi, bulu tangkis, judo, dayung (rowing), menembak, gimnastik, panahan, selancar ombak, atletik, akuatik, dan balap sepeda. Adapun satu cabang lainnya adalah sepak bola. Padahal sepakbola belum pernah lolos olimpiade, dan juga belum pasti apakah bisa bersaing atau tidak mendapatkan tiket olimpiade ini.

Bagaimana dengan negara lain?

Uniknya situasi penurunan jumlah penonton tidak terjadi di Thailand, Malaysia dan Singapura kemarin. Ketua panitia IO 2025 Armand pantas merasa iri dengan penonton di Thailand dan Malaysia. Meskipun penurunan terjadi di negara lain -yakni Tiongkok saat menjadi tuan rumah Piala Sudirman sebulan yang lalu. Bahkan kata Armand, penonton yang hadir di Xiamen Fenghuang Gymnasium (Tiongkok) cenderung sepi. Hingga empat hari awal, dia menyebut kapasitas stadion hanya terisi sekitar 20 persen.

Namun seandainya penonton menurun, satu hal yang membuat negara lain bergairah adalah prestasi pemainnya. Antara apes dan unik, bahwa negara tetangga -yaitu Malaysia dan Thailand- pada panen prestasi di tiga turnamen ini. Thailand melalui pemain tunggal Kunlavuth Vitidsarn, dan ganda campuran “baru” Dechapol Puavaranukroh/Supissara Paewsampran.

Malaysia menggila pada ganda putra Aaron Chia/ Soh Woi Yik yang selalu menjadi finalis berturut turut di Bangkok, Malaysia dan Singapura. Arron/ Soh menjadi juara 2 (dua) kali dan runner up sekali. Saat menjadi juara dua itupun dilalui dengan all Malaysian final saat kalah melawan yuniornya Tee Kai Wun/ Man Wei Chong. Fenomena desperate para pecinta bulutangkis Republik ini bertambah, karena pelatih dari duo ganda putra tersebut adalah Herry Iman Pierngadi -eks coach Pelatnas Cipayung.

Malaysia masih menambah pundi prestasi dari pasangan ganda putri nomor 1 (satu) mereka yaitu Pearly Tan/ Thinaah yang menjadi juara di Thailand Terbuka.

Sebagai penutup, saat Indonesia menjadi tuan rumah Thomas Uber Cup tahun 1986, ketua PBSI saat itu -Jenderal Try Sutrisno- mendapat penghargaan dari IBF (sekarang Badminton World Federation atau BWF) karena menjadi tuan rumah terbaik sepanjang penyelenggaraan kejuaraan beregu dunia sampai dengan 1986. Komentar pak Try kurang lebih menyatakan bahwa beliau sebenarnya lebih senang kalau Indonesia mendapat penghargaan sebagai tim terbaik (saat itu Thomas dan Uber digondol tim China).

Semoga kekuatiran saya kali ini tidak terjadi. Jangan sampai Indonesia zonk gelar (seperti tahun lalu), dan kurang berhasil sebagai tuan rumah …. karena penonton sepi.

ditulis oleh Yuniandono Achmad SE ME, pemerhati bulutangkis dari Bogor, Jawa Barat

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Berita Populer