Penulis : Khairani Zein, Mahasiswa Pasca Sarjana ilmu Komunikasi di Universitas Riau
Tak ada petir tak ada hujan, tiba-tiba Masyarakat kita terkejut saat menyaksikan banyaknya pemberitaan di sosial media yang menyoal tentang kebrutalan negara dalam menangani relokasi warga di Pulau Rempang – Kepulauan Riau.
Bentrokan terjadi antara warga Pulau Rempang, Batam, dengan tim gabungan aparat penegak hukum pada Kamis (7/9/2023). Bentrokan ini terjadi karena warga menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di lokasi tersebut. Petugas gabungan mendatangi lokasi pukul 10.00 WIB, sedangkan ratusan warga memblokir akses masuk jalan.
Warga menolak masuknya tim gabungan yang hendak mengukur lahan dan memasang patok di Pulau Rempang. Pemblokiran kemudian dilakukan dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan masuk menuju Rempang.
Sebetulnya Ada banyak cerita dan berita yang tersaji. dari berita yang asli dan menyehatkan, hingga propaganda dan berita hoax yang tersebar deras ke hampir seluruh lapisan masyarakat. Dengan bantuan sosial media, kini masyarakat bisa dengan telanjang melihat bagaimana proses relokasi warga di Rempang berjalan dengan sangat kasar, jauh dari rasa kemanusiaan dan bahkan boleh dikatakan tidak manusiawi atas nama investasi pasir silika dan eco city pulau rempang.
Proses penggusuran yang memakan korban gas air mata terhadap anak-anak telah menjadi catatan serius yang diingat masyarakat. Bahwa sepertinya negara memang tidak sedang menyayangi warga negaranya dan bahkan terkesan lebih cinta terhadap investor china dengan janji kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat.
kebrutalan relokasi di rempang tidak perlu terjadi, jika komunikasi pemerintah dan masyarakat berjalan dengan baik. Namun, karena komunikasi tersebut yang tidak berjalan dengan semestinya, akibatnya ada banyak korban yang terluka.
Dari kasus rempang ini sebetulnya kita bisa melihat bahwa ada beberapa Isu yang komunikasinya tidak tuntas diselesaikan. Pertama soal relokasi warga. Dari persoalan hunian warga yang akan di relokasi hingga ganti rugi terhadap warga yang terusir dari tanah nenek moyang mereka.
Kedua, terkait dengan apakah warga akan dilibatkan dalam investasi yang akan masuk ke daerah mereka dan yang terakhir terkait dengan apakah Rempang akan dijadikan Eco City atau dijadikan pabrik pasir silika terbesar kedua di dunia.
Kesemua hal yang belum jelas dan tidak terkomunikasikan dengan baik tersebut menjadikan masalah rempang menjadi bara konflik yang siap membakar siapa saja yang datang untuk menyelesaikannya. **