oleh: Yuniandono Ahmad, pemerhati olahraga tinggal di Bogor. Gambar di atas dari https://bola.kompas.com/read/2022/10/11/05150078
MESKI sudah 2 (dua) hari berselang, kekalahan PSSI U-17 masih terasa menyesakkan. Hanya membutuhkan hasil seri, namun malah kalah 1-5 dengan harimau muda Malaya. Tak kurang seorang Fachri Husaini (mantan pemain dan pelatih timnas) juga ikut menyatakan empatinya.
“Gagal itu makanannya orang sukses, jadi jangan berharap kalian bisa menghindar,” demikian tulis Fakhri di akun instagramnya. Bisa jadi Fakhri Husaini juga terkenang saat dirinya menjadi kapten timnas saat Sea Games tahun 1995 di Chiang Mai, Thailand. Ketika Indonesia hanya kalah tipis 1-2 di partai perdana melawan tuan rumah, banyak memperkirakan bahwa itu adalah gambaran the real final nanti. Pertandingan berlangsung seru, sengit, dan keras. Fakhrilah yang mencetak gol semata wayang bagi timnas ke gawang Thailand. Namun harapan ke final tinggal harapan sahaja. PSSI kalah tipis dengan Vietnam 0-1 pada partai pamungkas grup. Indonesia tidak lolos ke semifinal.
Sebenarnya kita mengalami banyak momen yang sama. Namun memang hal itu lebih sering terjadi pada timnas senior. Sementara saat ini nasib serupa mendera ke garuda muda under seventeen.
Kekalahan Pssi U-17 di partai terakhir, padahal tinggal butuh seri, mengingatkan pada penyisihan Piala Asia tahun 1984. Tuan rumah Indonesia hanya membutuhkan seri untuk bisa lolos, dengan menghadapi Suriah (Syria) pada partai terakhir. Sayang PSSI yang diperkuat Budiawan Hendratno, Patar Tambunan, Noah Meriyem, Rully Nerre, Marzuki Nyak Mad, takluk di tangan Suriah. Padahal sempat unggul 1-0 melalui gol Sain Irmis namun Suriah balik unggul 2-1. Lepaslah tiket ke putaran final di Singapura saat itu.
Komentar para pengamat bola zaman itu, PSSI asuhan pelatih Barbatana (Brasil) dan asisten Edy Sofyan bermain dengan pola yang tidak jelas menghadapi Suriah. Apakah mau bertahan atau menyerang. Kemenangan yang dirangkai sebelumnya (PSSI hanya sempat sekali kalah melawan Iran) menjadi musnah sudah. Karena gagal mempertahanakn keunggulan gol maka hilanglah tiket ke Piala Asia 1984.
Pernah juga terjadi pada bulutangkis beregu. Meski tidak mutlak 100 persen sama. Sewaktu final piala Sudirman 1995. Indonesia menjadi tim favorit karena memiliki 3 (tiga) pemain peringkat satu dunia. Ada Heryanto Arbi, ada Ricky/ Rexy, dan Susy Susanti. PBSI rencananya akan mengkaitkan kemenangan Sudirman dengan 50 tahun kemerdekaan Indonesia waktu itu. Sayangnya kita kalah melawan Tiongkok.
Gagal pada saat pertandingan terkahir pada posisi diunggulkan. Jika meminjam istilah dalam puisinya M. Aan Mansyur, ini semacam dinding atau penyakit mnurut saya, yakni dinding antara diri dan ketidakwarasan, atau jurang antara kebodohan dan keinginan. Menurut hemat kami antara tidak tahu mesti berbuat apa atau malah kurang sadar diri. Tim lawan yang -bisa jadi- memiliki hanya 30 persen untuk lolos, berbuat nekat saja, kalau kalah ya kalah total sekalian. Mereka malah bermain out of the box, dan sekuat tenaga untuk all out. Sementara tim kita out of context terhenyak lalu kaget, nge-blank dan akhirnya kemenangan di depan mata sirna.
Mungkin juga perihal yang jamak, tidak hanya terjadi ke PSSI yang kita cintai ini. Dulu sewaktu semifinal World Cup tahun 2006 berlangsung pertarungan sengit antara tuan rumah Jerman versus Italy. Kedudukan 0-0 diperkirakan bertahan sampai menit ke-120. Pelatih Jerman Juergen Klinsmann mungkin mengharapkan Jerman menang adu penalti. Akan tetapi coach Marcello Lippi berpikir lain, ia melakukan spekulasi saat masa perpanjangan waktu. Lippi memasukkan 2 (dua) striker italia yaitu Iaquinta dan Del Piero. Susunan pemain yang agak aneh karena sampai ada 4 pemain serang di tim azzuri. Italia menang 2-0, ditandai gol dari Del Piero yang dilesakkannya hanya beberapa detik sebelum wasit meniup peluit panjang.
Ketika PSSI U17 menghadapi Malaysia kemarin, asa kita sempat melambung karena selisih gol lebih banyak. PSSI mampu membungkan Guam dengan 14-0, sementara Malaysia ditahan Guan 1-1. Padahal bisa jadi ini adalah penyakit lama kita, untuk 2 (dua) hal. Pertama timnas hanya bermain bagus di awal-awal partai/ pertandingan. Kemudian yang kedua, fisik telah terkuras saat menang besar tersebut.
Walaupun lagi lagi kita mengambil contoh timnas senior. Pada putaran piala Asia tahun 1996, tahun 2000, 2004 dan 2007, tim kita selalu bermain apik pada pertandingan pertama. Tahun 1996 sempat unggul 2-0 atas Kuwait sebelum disamakan 2-2. Tahun 2000 lagi lagi menahan imbang Kuwait skor kacamata 0-0. Tahun 2004 mampu mengalahkan Qatar 2-1 sehingga pelatihnya yang asal Prancis -yaitu Phillipe Troussier- lepas jabatan. Tahun 2007 kita mampu mengalahkan Bahrain 2-1.
Kemungkinan karena stamina yang hanya kuat untuk bermain prima di partai perdana. Sesudah itu tim kita keok oleh keunggulan lawan.
Pelatih U-17 coach Bimasakti Tukiman mengakui kesalahan bahwa tidak melakukan rolling pemain. Sehingga pemain terforsir untuk bermain berturut-turut dengan selang waktu hanya 3 (tiga) hari. Sementara pelatih Malaysia sebenarnya sempat kecolongan atas gol Guam sehingga hasilnya seri 1-1. Namun memang Malaysia pantas win the war. Kita hanya mampu: win the battle. Saya rasa tidak perlu kita menang sampai di atas 10 gol, sementara pada partai-partai berikutnya pemain telah lelah, kecapekan terlebih dahulu -sehingga menuai kekalahan.
Mirip dengan kejadian saat sepakbola Sea Games tahun 1989. Lagi-lagi pada partai terakhir grup, PSSI ketemu dengan tuan rumah Malaysia. Saat itu pemain kita adalah Mustaqim, Ricky Yacob, Hanafing, Bonggo Pribadi, I Made Pasek Wijaya, Rahmad Darmawan, Safrudin Fabanyo, Herry Kiswanto, Azhari Rangkuti, dengan kiper Putu Yasa. Brunei kita babat dengan 6-0 (sementara Malaysia hanya menang 2-1), Filipina kita basmi dengan 5-1 (Malaysia hanya menang 3-0). Tapi Ketika perebutan juara grup, kita cukup puas dengan predikat runner up karena kalah 0-2, gol diborong oleh Lim Teong Kim. Saat ini Lim TK melatih Perak FC.
Mungkin lebih wise melihat tersingkirnya PSSI U-17 ini seperti cara pandang Fakhri Husaini di atas. Bahwa pengalaman kalah ini merupakan perihal berharga. Masih banyak tantangan dan pertandingan ke depan. Mereka masih sangat amat belia.
Kalah menang itu biasa. Penggila bola tidak boleh baper akan hal itu. Demikian pula dengan suporter bond sepakbola daerah. Jangan sampai terulang kembali Tragedi Kanjuruhan saat supporter sampai turun ke lapangan karena tidak bisa menerima kekalahan. Biasa saja, jangan sampai gelap mata, Pemain jangan dituntut untuk selalu menang. Lebih baik pulang dengan tertib selesai pertandingan. Sebaiknya kekalahan itu jangan dimasukkan hati. Seperti kata Horace Walpole, “Life is a comedy to those who think and a tragedy for those who feel”. Viva sepakbola Indonesia!
artikel ini ditulis oleh Yuni Andono Achmad, S.E., M.E., staf pengajar di kampus Gunadarma di kota Depok, Jawa Barat



