
Jojo ketika mengalahkan Kunlavut Vitidsarn, sumber foto: https://voi.id/en/sports
oleh: Yuniandono Achmad, pengamat bulutangkis yang tinggal di Bogor
“Life is a comedy to those who think and a tragedy for those who feel” (HORACE WALPOLE)
Hasil kontras didapat dari kedua turnamen seri Eropa dan Asia meski hanya berselang 2 (dua) pekan. Di Swiss Open kita menjadi juara umum dengan dua gelar dari tunggal putra dan ganda putra. Di Korea kita harus puas dengan dua gelar runner up dari nomor yang sama, bahkan dari pemain yang sama. Hasil Korea Open ini senasib dengan pemain Thailand yang mendapatkan dua buah runner up dari tunggal putri dan ganda putri.
Jonathan “Jojo” Christie mengulangi prestasi tahun 2017 tatkala kalah melawan Antony Sinisuka Ginting di partai final Korea Terbuka. Sedangkan Fajar Alfian/ Rian Ardianto tidak mampu mengulangi prestasi tahun 2019 ketika menjadi juara mengalahkan pasangan Jepang, Takeshi Kamura/ Keigo Sonoda di turnamen sama.
Tentunya hasil yang mengecewakan. Ambil contoh tunggal putra, yang dihadapi Jojo adalah pemain Tiongkok berperingkat 156, usia 22 tahun. Bandingkan dengan Jojo yang memiliki rangking nomor 8 (delapan) dunia. Dua tahun lalu -saat usia Jojo- berumur 22 tahun, yang artinya seusia Weng Hong, Jojo sudah mampu juara Asian Games dan di Australia Terbuka. Sementara Weng Hong ini debutan di turnamen super 500 seperti Korea Terbuka ini. Weng tahun dimainkan di Piala Thomas, dan US Open 2019 (Super 500). Selain itu doi paling sering terlihat di acara International Challenge dan Super 100.
Sementara yang dihadapi Fajar Alfian/ Rian Ardianto adalah pasangan Korea yang baru tapi stok lama. Mereka baru tiga kali dimainkan di turnamen, jadi peringkatnya paling berkisar di 50an dunia. Sementara Fajar/ Rian menempati 10 besar dunia.
Pasangan kampiun dari Korea ini -yang bernama Kang Minhyuk/ Seo Seungjae- di babak semifinal mengalahkan pasangan gaek kita “the Daddies” dengan straight set. Bocah-bocah Korea Selatan ini berusia 23 tahun dan 24 tahun, dengan si Seo Seungjae lebih tua. Seo ini dulunya pemain tunggal, yang kemudian sejak Sudirman Cup tahun 2017 dipasangkan dengan Choi Sol Gyu di ganda putra. Meski sering kalah saat itu, namun secara tim Korea menjadi jawara piala Sudirman 2017 -setelah menunggu 14 tahun lamanya. PBSI-nya Korea sering memainkan seorang pemain ganda untuk bisa bermain rangkap -yaitu ganda putra atau ganda puteri dan juga campuran.
Kemarin saat olimpiade Tokyo, Seo Seungjae bisa lolos di dua nomor, yaitu ganda putra dan ganda campuran. Namun untuk ganda putra tersisih di penyisihan grup (kalah melawan Hendra/ Ahsan dan pasangan Malaysia Aaron/ Soh), sedangkan ganda campuran bertahan di babak 8 (delapan) besar.
Kemudian seiring makin menuanya Choi Sol Gyu, maka Seo pasangannya berubah menjadi Kang Minhyuk. Bermain di tanah sendiri, sepertinya menjadi penyemangat Kang/ Seo untuk meraih gelar. Permainan Fajar/ Rian sebenarnya sudah cukup taktis, namun kalah oleh semangat Kang / Seo ini.
Di babak semifinal, pasangan Korea ini dikeroyok oleh Indonesia. Selain the Daddies kita juga menurunkan Bagas/ Fikri. Pasangan Bagas/ Fikri kalah straight set melawan Fajar/ Rian dengan kekalahan di set kedua sangat telak -di bawah 10. Artinya Fajar/ Rian tidak begitu capek atau lelah dibandingkan Kang/ Seo yang musti bermain rubber melawan Hendra/ Ahsan. Tapi tetap saja -pasangan tuan rumah yang juara.
Kemenangan ganda putra Korea ini tentunya menjadi perihal berarti bagi mereka dalam mengocok komposisi ganda di Thomas Cup nanti. Seo bisa dipasangkan dengan Choi Sol Gyu, bisa dengan Kang Minhyuk. Kemudian masih ada Ko Sung Hyun/ Shin Baek Chol di peringkat 21.
Korea selama ini dikenal negara dengan pemain ganda putra terkuat dunia. Namun tidak untuk saat ini. Sejak era Park Jo Bong (terakhir tahun 1992) yang dilanjutkan Kim Dong Moon (sampai 2004) lalu Lee Yong Dae (sampai 2016) mereka adalah para peraih emas ganda di olimpiade. Bahkan pernah terjadi All Korean Final pada olimpiade tahun 2004 di Yunani yang mempertemukan Ha Tae Kwon/ Kim Dong Moon melawan Lee Dong Soo/ Yoo Yung Sang.
Pada tahun ini, peringkat tertinggi ganda putra Korea adalah Choi Sol Gyu/ Seo di ranking 12, berikutnya Ko Sung Hyun/ Shin Baek Chol pada urutan 21. Artinya untuk pertama kalinya sejak era 90-an, tidak ada ganda putra Korea yang nangkring di urutan 10 besar dunia.
Uniknya, Korea ini segrup dengan Indonesia pada penyisihan Thomas di Bangkok bulan depan. Dengan adanya pasangan baru Kang/ Seo ini pantas untuk diwaspadai sektor ganda kita.
Kalau pasangan Fajar/ Rian kalah karena apiknya permainan ganda yang didukung sorakan tuan rumah, lalu bagaimana dengan Jonatan Christie? Kemungkinan ada 2 (dua) sumber faktor kekalahan. Bisa jadi Jojo telah mengalami peak performance di partai sebelumnya. Jojo mampu menyingkirkan Srikant Kidambi (India) dengan straight set. Kemudian babak sebelumnya mengalahkan “si anak ajaib Thai” yaitu Kunlavut Vitidsarn. Jojo menyingkirkan Kunlavut secara rubber game, dengan kalah terlebih dahulu 8-21 pada set pertama.
Bagaimana partai finalnya? Pertahanan, kunci kemenangan Weng Hong Yang. Jojo seperti menemui tembok Cina. Si Weng ini kadang memunculkan lucky blow dalam mengatasi serangan Jojo. Ibaratnya Jojo bermain total football, mentok melawan sistem grendel -ala catenaccio milik Italia- yang mengandalkan serangan balik atau counter attack.
Mengambil hikmah dari kalahnya Jojo dan Fajar/ Rian, salahsatunya adalah bahwa just like saying goes di atas langit masih ada langit. Mereka kalah dari pemain yang -ibarat kata- peringkatnya bukan bukan. Barangkali kalau pemain kita yang jadi juara, maka akan semakin menambah jumawa atau sikap sombong, setelah menjadi champion di Swiss Open 2 (dua) pekan sebelumnya.
Secara umum pemain Indonesia cukup menggembirakan penampilannya di Korea Open ini. Terutama sektor ganda putra yang begitu dominan di perempat final. Namun agak disayangkan kalahnya Antony Ginting di babak pertama atas pemain Perancis, Lucas Clearbout. Pemain lainnya, Shesar Hiren Rhustavito, sempat memberi harapan karena mampu menyingkirkan juara India Open dan finalis All England dari India, Laksya Sen. Namun gugur ketika melawan pemain tidak terkenal dari Denmark, Victor Svendsen. Bahkan Svendsen ini usianya lebih senior dibandingkan Shesar.
Bagi tim Denmark kemunculan si Svendsen ini tentunya menggembirakan, sebagai pelapis skuad tunggal mereka yang telah kokoh -yaitu Axelsen, Antonsen, dan Markus Gemke.
Tragis memang melihat kalahnya Jojo dan Fajar/ Rian di partai final Korea Open. Namun meski kita kalah di permainan, tetapi kita harus menang secara perspektif. Bagi kaum yang rasional, hal itu adalah komedi -bukan tragedi. Horace Walpole pernah mengatakan “Life is a comedy to those who think and a tragedy for those who feel” maka demikian pula bagi Jojo dan Fajar/ Rian agar kekalahan ini menjadi cambuk. Anggap saja seperti romantika kehidupan, ada suka ada duka. Bayangkan set pertama milik Jojo, dan set kedua sudah unggul 19-16. Tapi gelar melayang.
Sekali lagi kekalahan ini sebagai peringatan. Mungkin Jojo perlu perbaikan stamina, atau mental, atau penyesuaian ritme permainan. Pelatih tentunya lebih mengerti akan hal ini.
Perjalanan masih panjang. Akhirnya kami hanya bisa berharap semua agar lancar dan sukses untuk menyongsong perhelatan Thomas Cup bulan Mei nanti di Bangkok.
Yuni Andono Achmad, S.E., M.E. lahir di Klaten, besar di kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Menulis tentang bulutangkis di media sejak tahun 1996, ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi -sekarang FEB- Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lulus S1 tahun 2001, kemudian melanjutkan S2 di MPKP Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lulus tahun 2008. Selain sebagai staf pengajar di sebuah PTS di kota Depok, juga konsultan di beberapa proyek Kementerian/ Lembaga di Jakarta.