Ini Kesepakatan Abad Ini dan Ide Relokasi Warga Gaza

Jakarta (Nadariau.com) – Mengebom Gaza seakan-akan jadi tradisi otoritas Israel yang melakukannya setidaknya sebulan sekali. Baru-baru ini, jet F-16 milik mereka telah menghantam selatan Gaza dengan dalih “balas dendam”.

Israel terus-menerus melakukannya untuk menekan Gaza agar wilayah itu tak bisa dihuni oleh penduduk setempat.

Selain memberlakukan embargo sistematis sejak 2006, Israel juga memberlakukan kontrol dan pembatasan perlintasan jalur Rafah. Tak hanya itu, Israel pun menghancurkan semua terowongan yang berada di Jalur Gaza. Pada titik ini, setiap serangan Israel memperkuat klaim bahwa Israel memang bertekad mengusir penduduk setempat.

Sejak mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara, Israel terus-menerus melancarkan upayanya untuk mengklaim Gaza dan menganeksasi tanah Palestina secara ilegal. Pada 1956, Igor Ayland mengusulkan agar penduduknya dipindahkan ke suatu wilayah di Semenanjung Sinai.

Usulan ini kembali dilempar ke meja perundingan internasional ketika Trump menjabat sebagai presiden AS. Isu ini juga menjadi perdebatan di Mesir selama beberapa tahun terakhir, yakni sejak Abdel Fattah al-Sisi merebut kekuasaan melalui kudeta.

Para pakar dan politikus Israel mendengungkan gagasan untuk memindahkan warga Gaza ke Semenanjung Sinai. Isu ini pertama kali diajukan oleh para pemimpin negara-negara Arab kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada 8 Agustus 2014. Namun, isu ini sudah ditolak oleh Abbas.

Pada Februari 2017, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menemui mantan menteri luar negeri AS John Kerry, Raja Abdullah II dari Yordania, dan Presiden Mesir al-Sisi di Kota Aqaba, Yordania, untuk membahas relokasi warga Palestina ke Sinai.

Masalah relokasi warga Gaza ke Semenanjung Sinai menjadi perdebatan di AS sejak Trump menjadi presiden. Klaimnya untuk membawa perdamaian ke Timur Tengah, kemungkinan justru akan menimbulkan gejolak ketimbang perdamaian.

Keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dipandang oleh para aktor internasional sebagai dukungan langsung bagi penindasan Israel atas Palestina. Sebagian besar kawan dekat Trump pun turut mendukung para ekstremis Yahudi, termasuk menantunya, Jared Kushner, dan Duta Besar AS untuk Israel David M. Friedman.

Dukungan Trump ke Israel tampak jelas ketika Trump mengundang para pemimpin pemukim Yahudi, yang diakui AS, ke upacara pengambilan sumpahnya pada 2017. Di saat yang sama, Kushner berupaya mengubah status hukum internasional mereka. Dengan perubahan status itu, maka hak-hak warga Palestina akan dicabut, termasuk hak mereka untuk pulang ke tanah kelahiran mereka.

Jika dievaluasi, sejumlah peristiwa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, telah mendekatkan Yordania dan Mesir dengan gagasan ini. Mesir telah menikmati dukungan besar dari Israel di kancah global, terutama pascakudeta tahun 2013.

Artinya, pemerintah Mesir sudah membayar “harga mahal” untuk mendapatkan dukungan itu. Sementara itu, Yordania yang menanggung beban ekonomi karena harus menampung para migran dari negara-negara lain, menerima bantuan signifikan dari AS dan negara-negara Barat lainnya. Konon, sebagai gantinya, Raja Abdullah harus mendukung gagasan untuk merelokasi warga Gaza.

Skenario untuk merelokasi warga tidaklah mudah. Agar hal itu terwujud, pertama-tama, pemerintah sayap kanan harus unggul di pemilihan umum Israel. Selain itu, Israel harus membentuk aliansi resmi dengan Mesir, dan aktor-aktor regional harus mengakui ketidakmampuan mereka dalam menyelesaikan isu Palestina.

Di titik ini, ketika kita mengamati negara-negara di kawasan itu, meskipun mereka tidak mengungkapkannya secara terbuka, fakta bahwa negara-negara tersebut berjuang dengan masalah internal mereka sendiri, telah membangkitkan optimisme rezim Zionis.

Hal lain yang dibidik Israel untuk mencapai tujuannya adalah melemahkan Gaza secara ekonomi dan memaksa penduduknya untuk bermigrasi. Rupanya hal ini cukup berpengaruh karena penelitian terbaru mengungkapkan bahwa satu dari empat anak muda yang tinggal di Gaza bercita-cita meninggalkan wilayah itu.

Meskipun kondisi saat ini tampaknya menguntungkan Israel, ada banyak rintangan yang menanti Tel Aviv. Relokasi itu sendiri kemungkinan jadi bumerang bagi mereka. Upaya semacam itu akan sulit diterima oleh publik internasional. Tekanan dari dunia Arab dan Islam akan menghimpit Israel maupun Mesir.

Sebenarnya, ada juga kemungkinan untuk merealisasikan gagasan itu secara damai. Namun, itu semua tergantung pada respons negara-negara Arab. Untuk tujuan itulah, menantu sekaligus kepala penasihat Trump, Kushner, mengunjungi negara-negara itu satu persatu sepanjang tahun 2019.

Namun, karena negara-negara itu kewalahan dengan perang saudara dan konflik yang terjadi di negaranya sendiri, mereka pun mengesampingkan masalah Palestina. Pada akhirnya, kita bisa menyimpulkan sendiri bahwa kemungkinan besar rencana relokasi warga Gaza akan gagal.

Selama pendudukan yang telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun, proyek-proyek untuk mengasingkan rakyat Palestina selalu hilang timbul. Namun, implementasinya diprediksi akan memicu kecaman internasional. Inilah yang dikhawatirkan oleh aktor-aktor internasional, khususnya AS.

Apa yang disebut-sebut Trump sebagai “Kesepakatan Abad Ini” bukanlah gagasan pertama yang diangkat oleh Partai Republik. Pada 2002, Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza Rice saat itu memperkenalkan the Greater Middle East Project. Dia menyebut tatanan dunia baru ada di bawah proyek ini.

Meskipun dalam waktu dekat Israel tidak punya keleluasaan untuk merealisasikan relokasi, Israel tetap gigih membujuk negara-negara di kawasan itu agar mendukung gagasannya. Sebenarnya, motif di balik tekanan ke Gaza dan serangan bom tanpa henti ke wilayah itu adalah niat terselubungnya untuk berinvestasi di masa depan. (republika/nrc)