oleh: Yuniandono Ahmad. Foto: Gregoria Mariska Tunjung dari republika.co.id dan PBSI.
JORJI atau Gregoria Mariska Tunjung (22) belum bisa beranjak dari 16 besar. Baik di Indonesia Master, maupun sekarang di Malaysia Open. Pada event Indonesia Open lebih ngenes lagi, kalah di 32 besar melawan pemain Thailand, usia 21 tahun Phittayaporn Chaiwan. Chaiwan ini pula yang menyingkirkan Gregoria Mariska Tunjung -atau biasa dipanggil Jorji ini- di semifinal Sea Games sekitar dua bulan lalu.
Di turnamen Petronas Malaysia Open ini mungkin asa netizen badminton lover dari Nusantara akan prestasi Jorji awalnya mengemuka. Terutama setelah Jorji mengejutkan di babak 32 besar. Jorji menang atas unggulan pertama Akane Yamaguchi (25) dari Jepang. Bahkan menang straight set. Namun besoknya, Jorji tumbang dari pebulutangkis Tiongkok, Wang Zhi Yi, usia 22 tahun (yang berarti setahun di bawah Jorji). Wang Zhi Yi merupakan juara Asia 2022. Jorji kalah 19-21, 13-21 di hari Kamis tanggal 30 Juni 2022 bertempat di Axiata Arena, Kuala Lumpur, Malaysia.
Beberapa kemungkinan atas penyebab naasnya nasib Jorji yang selama ini kalah di babak awal. Probabilitas besarnya berkutat pada psikis atau pada fisik. Serta kemungkinan Jorji adalah tipikal pemain beregu -bukan individual.
Pertama soal psikis terlebih dahulu. Jorji bisa jadi sedang memanggul beban berat. Putri kelahiran Wonogiri ini merupakan mantan juara dunia yunior. Tepatnya tahun 2017 yang bertempat di GOR Amongrogo, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Levelnya sama dengan Susy Susanti dulu saat yunior menjadi juara dunia kelas taruna, di tahun 1987. Dulu nama turnamen masih menggunakan logo Bimantara.
Teman teman seangkatan Jorji -seperti An Seo Young (pemain Korea) yang dikalahkan di Yogya saat kejuaraan dunia 1997- telah masuk 10 besar dunia. Kemudian Chen Yufei (lebih tua setahun dari Jorji) telah meraih emas olimpiade. Atau Wang Zhi Yi yang menjadi juara Asia tahun ini.
Walau memang tidak bijak kalau membandingkan dengan orang lain. Namun setidaknya sebagai acuan atau tolok ukur sekaligus sebagai tantangan (atau chalenge) dan cambuk untuk memotivasi jiwa petarng seorang atlet. Mungkin sah sah saja.
Sepertinya Jorji belum siap menjadi pemain tumpuan tunggal putri. Sebelum Jorji ada Fitriyani, yang keluar dari pelatnas baru sekitar dua tahunan ini. Bisa jadi Jorji akan lebih merasa nyaman ada Fitriyani. Semacam lebih enak jadi underdog, tapi di luar dugaan mengalahkan lawan yang lebih unggul. Kalau pembaca ingat saat Uber Cup tahun 2018. Jorji adalah pemain yang tidak pernah kalah saat beregu, saat itu. Jorji menjadi pemain tunggal kedua (atau urutan ketiga beregu), yang bertahan sampai perempat final, sebelum tim kita menyerah atas tuan rumah Thailand. Jorjilah yang menyumbangkan poin saat itu, bersama Greysia/ Apriyani. Meski tim kita kalah 2-3 lawan Thailand.
Berlanjut pada kemungkinan lain, bahwa Jorji adalah tipe pemain beregu, bukan individual. Pemain individu di sini hanya semacam istilah untuk memudahkan sebutan pemain-pemain yang sukses di rangkaian turnamen BWF. Melihat kiprah Jorji pada Uber 2018, kemudian Sudirman 2021, dan kejuaraan beregu Asia 2022, kemungkinan memang benar. Jorji bermain cemerlang di kejuaraan-kejuaraan beregu tersebut. Namun begitu dihadapkan pada Sea Games di Hanoi yang baru lalu, realita berubah. Jorji kalah di partai perdana saat Indonesia melawan tuan rumah Vietnam, Nguyen Thuy Linh peringkat 57 dunia (yang artinya jauh di bawah Jorji). Di partai final saat lawan Thailand, Jorji tidak dipasang. Kemudian saat bermain individu di SG Hanoi tersebut, lagi-lagi Jorji kepenthok sama yunior Thailand si Chaiwan tadi, sehingga hanya perunggu yang didapat.
Berikutnya kemungkinan terakhir adalah persoalan fisik, kurang lebih artinya peak performance sudah lewat. Dulu saat tim Tiongkok dikomandoi oleh pelatih kepala Li Yongbo, pernah diterapkan pemain putri minimal tinggi badan 170 cm. Kebijakan tersebut membuat beberapa pemain putri China yang tergolong “pendek” pindah kewarganegaraan. Ada yang ke Jerman, dan ada yang ke Singapura. Bisa jadi policy ala Li Yongbo tersebut benar juga. Untuk menunjang keberlangsungan pemain biar agak lama -katakanlah- life of expectancy-nya di lapangan. Namun masuklah kemudian para pemain Jepang pilihan coach asli Korea, Park Joo Bong. Seperti Nozomi Okuhara dan Akane Yamaguchi dari Jepang, yang keduanya adalah semampai atau “seratus enam puluh tak sampai”. Ditambah pemain Thailand, Ratchanox Inthanon, dan pemain Taipei, Tai Tzu Ying. Ternyata keempatempatnya bisa mendobrak dominasi putri Tiongkok. Dengan tinggi yang tidak seberapa. Okuhara dan Akane tahun ini cenderung menurun prestasinya. Nozomi Okuhara malah tahun lalu sudah kalah dengan pemain yang bukan-bukan.
Mungkinkah Jorji senasib dengan duo Jepang tersebut? Artinya mengalami kebuntuan prestasi karena fisik tidak sebugar dulu lagi. Cuma memang Jorji masih terlalu muda. Usia 23 (nanti bulan Agustus) merupakan puncak penampilan Okuhara dan Akane dulu. Tahun lalu, Nozomi Okuhara sudah berusia 26 tahun, mulai penurunan prestasi. Tahun ini Akane Yamaguchi usia 25 tahun, aura kemunduran juga sudah muncul -salahsatunya adalah kalahnya Akane melawan pemain yunior kita Bilqis binti Joko Suprianto, di penyisihan pala Uber bulan Mei baru lalu.
Untuk mengatasi persoalan psikologi pemain, PBSI tentunya sudah punya seabreg pengalaman. Mantan pemain pelatnas yang sekarang terjun sebagai professional -main tunggal selagus ganda- yaitu Fitriani di tahun 2018 pernah mendapat “perawatan” psikolog di pelatnas, karena prestasi tak kunjung menjura. Situasi yang sama dengan yang dulu pernah dialami oleh Alan Budi Kusuma (pasca kekalahan piala Thomas 1992) dan juga Hendrawan (saat prestasinya mandeg di tahun 1997). Alan akhrinya merebut emas olimpiade 1992, sedangkan Hendrawan mendapat perak olimpiade Sidney 2000 dan juara dunia 2001.
Masih ada kemungkinan lain. Walau kemungkinan kecil. Seperti misalnya dulu mengapa Fitriyani hanya berprestasi tahun 2019. Kemungkinan karena lebih cocok dilatih oleh Minarti Timur dengan pelatih kepala Susy Susanti. Ketika cik Susy lengser dari pelatih pelatnas (juga Minarti Timur) maka mereduplah prestasi Fitriani. Apakah demikian halnya si Jorji? Kita hanya berharap yang terbaik. Kalau kata Ketua Umum PSSI zaman old yaitu pak Kardono dengan slogan “ngotot” yang intinya mengutamakan fighting spirit. Kalau soal teknik, pemain kita banyak diakui dunia bahwa Indonesia kaya akan bakat-bakat alam atlet bulutangkis dengan teknik aneh-aneh. Namun persoalan fisik, stamina, dan daya juang, itulah yang perlu dipupuk dan dibina. Kembali ke ngotot tadi. Dulu begitu ngototnya Hendrawan (sekarang pelatih tunggal putra Malaysia), jadi ketika sudah selesai latihan di pelatnas, kemudian masih berlatih lagi sore atau malamnya di klub.
Sehingga di bulan Juni ini -dari Indonesia Master, Indonesia Open, dan Malaysia Open- Jorji tumbang di partai awal. Ya di bulan Juni. Mengingatkan pada puisi “Hujan Bulan Juni” mahakarya sang legenda Sapardi Djoko Damono, almarhum.
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
… dan seterusnya. Hujan di bulan Juni. Kesetiaan pada apa? Pada babak 16 besar. Gregoria masihkah ada hujan di bulan Juni? Masih, ternyata masih hujan. Entah hujan tangis air mata. Atau hujan tawa kegembiraan -seperti saat kau menang atas Akane. Namun besoknya langsung disapu dengan deraian air mata dari netizen saat dirimu kalah melawan Wang Zhi Yi. Masih ada hari esok Gregoria.
Walaupun untuk bagian “hari esok” ini jadi teringat joke dari Prof Mudrajad Kuncoro -sekarang Rektor Universitas Trilogi. Dulu sekitar tahun 2010 waktu ada kegiatan Kemendikbud untuk klaster kemiskinan. Pak Mudrajad satu tim dengan Prof Sarlito Wirawan (almarhum), prof Gunawan Sumodiningrat, dan Dr Arief Satria -yang sekarang menjadi Rektor IPB. Kata beliau kurang lebih, “Memang sih masih ada hari esok. Tapi pertanyaannya: Esok itu kapan …………..”. Gregoria, ternyata masih ada hujan di bulan Juni. Terus kapan juaranya.
artikel ini ditulis oleh Yuni Andono Achmad, pemerhati bulutangkis dari kabupaten Bogor. Bekerja sebagai dosen di sebuah PTS di jalan Margonda, kota Depok, Jawa Barat. Selain kesibukan sebagai konsultan di beberapa Kementerian/ Lembaga di Jakarta Pusat.


