oleh: Chris Triwarseno. PENGANTAR “Lukisan malam adalah kesempurnaan, semua hal terlukiskan dalam penghambaan kepasrahan. Setiap goresan dalam kanvasnya, menguat membuat sketsa hidup dari setiap darma dan karma kita. Semua warna dalam lukisan, menarasikan pesannya masing-masing, seperti pendar cahaya taubat dengan kadarnya sendiri membuat warna-warna serupa. Lukisan-Mu Maha Sempurna di dalam kanvas langit yang jauh dari sirna, tiada satupun penyangsiaan atasnya, menempelah dahi pelukis malam pemujamu yang terpana.”
SAJAK PELUKIS MALAM
Sejenak baru saja terjaga
Rangkaian mimpi baru saja lepas dari raga
derasnya hujan diluar menepis panas juga
Menghepas lepas deras dari mega
Satu dua tiga hal larut dalam kecamuk
Saling tumpang tindih tidak berbentuk
Diantara kesadaran yang kian berunjuk
Belum jua terasa mendapat petunjuk
Merasakan keadilan Mu yang Maha Berkendak
Tak secuilpun otak segera bertindak
Merasa tersekat dalam ujian berundak
Memilah dan memilih dalam sekian jejak
Sudahlah, malam berpulang tergantikan
Pagi berangsur memaksakan
Menjajal teriknya siang yang mematikan
Tak seperti malam yang memanjakan
Lukisan Mu yang sempurna
Dalam kanvas langit jauh dari sirna
Tiada satupun yang tak berguna
Menempelah dahi pemujamu yang terpana
Akulah sepi tak terganti
Engkaulah, semua bait tertuju bakti
Akulah api yang tak juga mati
Engkaulah, semua padam dalam mukti
(Ungaran, Agustus 2018)
BEKUKAN AKU
Tak saja jemari ini kaku
Lidah pun rekat bak terpaku
Lalu lalang bayang berjibaku
Tak lelah hendak menanggalkanku
Entah terpikir apa masih mau begitu
Bertingkah polah sambil lalu
Menebar dengki tanpa malu
Menuai karma baru membisu
O, segelintir diantara yang tak berpikir
Tertawa lepas sembari nyinyir
Tak bijak sampai akir
Menangismu setelah semua berakhir
Ditengah gaduh yang kau buat
Aku menunduk rendah diantara tobat
Ditengah cidera yang kau ikat
Aku bersimpuh untuk asmaNya yang hebat
Beku-kan aku semaumu
Selagi kau masih merindukan kelu
Bertindaklah semaumu
Selagi kau masih rindu karma laku
(Ungaran, Januari 2019)
Menyoal-MU
Waktu terus berputar,
Disaat semua aktifitas beredar.
Semua kejadian terus saja berujar,
Menyoal siapa dan mengapa tidak wajar.
Berontak meminta semua pada-Mu
Seakan tidak mau tau nikmat-Mu
Sementara jejari jauh dari-Mu
Mensyukuri letih hanya dunia cipta-Mu.
Aku terus berlarian menyoal, ketidakadilan.
Aku terus berkoar meminta, keharusan.
Aku terus meronta, Menentang ketidakberpihakan.
Aku terus merasa Kau tinggalkan.
Seorang dalam pencariannya, yang hilang.
Tidak mau diam terus terguncang.
Perihal rasio tidak tertimbang,
Bersiap lelah kembali sudah petang.
Lantang Wisanggeni menentang dewa
Keberanian tanpa cela
Kesaktian linuwih berbisa
Berakhir dengan kesadaran moksa.
Sudah digariskan seberapa usahamu,
Penantian panjang belum bertemu,
Carilah diantara wudhu
Percayalah pada pesan kalbu.
O menyoalMu aku tak mampu
O menyoalMu aku terbelenggu
O menyoalMu aku dalam ragu
MampUkan aku dalam belenggU ragu
(Ungaran, Agustus 2017)

Chris Triwarseno, lahir di kabupaten Karanganyar, tanggal 14 Februari 1981. Alumni Fakultas Teknik, jurusan Teknik Geodesi dari UGM, Yogyakarta. Seorang karyawan swasta yang tinggal di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Penulis buku puisi “Bait-bait Pujangga Sepi”. Beliau aktif di beberapa komunitas literasi. Beberapa karyanya diterbitkan di media seperti: Suara Merdeka, nadariau.com, negerikertas.com, Arahbatin.com, lensalawu.com dan lain sebagainya.


