Gambar: Pelatih Vita Marissa diapit oleh Rehan Kusharjanto dan Gloria Widjaja, setelah memenangkan Polandia Terbuka, akhir Maret. Picture from antaranews [dot]com
ARTI bulan Maret memang beragam. Kalau dalam bahasa Jawa kata “Maret” bisa dibahasakan atau diucapkan dengan “mak ret” atau mulai mengkeretnya hujan, alias berkurangnya hujan, yang berarti siap-siap akan mendekati musim kemarau. Setelah selama akhir tahun (bulan November dan Desember) lalu lanjut Januari sampai Februari -bumi tropis kita tercinta diguyur hujan.
Sedangkan dalam bahasa Inggis, kata “to March” bisa berarti berbaris atau berjalan dengan teratur. March berarti berjalan dengan langkah yang teratur dan seragam, seperti yang dilakukan oleh tentara atau peserta parade. Kemudian “to march” juga dapat berarti bergerak ke depan atau maju, baik secara fisik maupun secara konsep. Kata “March” juga dapat merujuk pada demonstrasi yang dilakukan dengan berjalan atau berbaris.
Sekarang kita di bulan April, atau triwulan kedua di tahun ini. Ketepatan kemarin bulan Maret masuk dalam bulan Syawal di tahun Hijriyah. Kata “Syawal” berarti meningkat. Dalam konteks keolahragaan, apakah movement yang dilakukan PBSI bisa digolongkan “peningkatan”?
Alih-alih mempersiapkan pergantian bulan Ramadhan ke Syawal, PBSI malah membuat beberapa langkah yang signifikan di bulan Maret. Semoga menjadi perihal yang positif. Untuk tidak mengatakannya sebagai langkah yang kontroversial. PBSI melalui wakil ketuanya, Taufik Hidayat (mantan Olimpian, peraih emas tahun 2004 di Athena, Yunani), telah menyampaikan setidaknya 3 (tiga) hal ke media.
Pertama adalah dibukanya keran pemain untuk aktif di luar pelatnas, kedua degradasi bisa dilakukan setiap saat (tidak hanya pada akhir tahun). Kemudian merombak pasangan pemain ganda.
Menjadi pemain di luar pelatnas, ada 2 (dua) kemungkinan. Kembali menjadi pemain klub, atau pemain profesional. Contoh balik atau kembalinya pemain ke klub adalah Gloria Emmanuela Wijaya, yang degradasi dari pelatnas tahun 2023. Ia kemudian pindah ke Djarum, berpasangan dengan Dejan Ferdinansyah di sektor ganda campuran.
Sedangkan pemain profesional misalnya Hendra Setiawan/ Mohammad Ahsan, yang disponsori oleh pihak luar -di luar pendanaan Pelatnas. Namun mereka masih berlatih di Pelatnas Cipayung. Saat ini, langkah Hendra/ Ahsan diteruskan oleh Sabar Karyaman Gutama/ Mohammad Reza Pahlevi Isfahani.
Langkah pro yang lain, yang agak beda, bisa dikatakan professional murni -ditempuh oleh pemain Denmark, Viktor Axelsen. Dia mendirikan tempat latihan sendiri di Dubai, Uni Emirat Arab. Pemain yang mengikuti semacam “klub” Viktor di Dubai ini adalah Loh Kean Yew asal Singapura. Sempat viral beberapa bulan yang lalu, Viktor menawarkan sistem pelatihan yang sama ke Christian Adinata -pemain kita asal Pati, Jawa Tengah.
Memang idealnya pemain bulutangkis ini seperti pemain tenis, yang memang sudah 100 persen profesional. Satu orang pemain dikeroyok oleh tim pelatih, termasuk psikolog, ahli gizi, dan manajer keuangan. Tapi di tenis memang sangat terbuka untuk itu, mengingat juara turnamen sekelas grand slam di tenis mampu meraup prize money sebanyak Rp 50 milyar, yang berarti 50 kali lipat juara Indonesia Open Badminton.
Artinya kalau memang PBSI membuka keran untuk pemain pro, non pelatnas, tidak bisa serta merta melepas pemain yang notabene eks pelatnas tersebut. Semestinya ada semacam tim coaching atau grup pemberdaya “exit strategy” yang mendampingi untuk beberapa pekan ke depan -atau bahkan bulan.
Tim exit strategy tersebut juga memastikan sistem degradasi pemain tidak lepas begitu saja saat sang pemain out dari pelatnas. Idealnya memang ada turnamen tiap pekan di tanah air, bisa atas nama klub atau pribadi, sehingga pemain tetap seperti “pegawai” yang bermain tiap minggu. Kalau kata orang Betawi bilang: Biar dapur tetap ngebul, Bang.
Uniknya sampai ke triwulan pertama ini, pemain non-pelatnas lebih berprestasi dibanding para penghuni pelatnas Cipayung. Memunculkan tanda tanya, di tengah melimpahnya materi dan pengelolaan manajemen atlet yang lebih baik, justru pemain yang ada di Pelatnas PBSI kalah bersinar.
Pada tur Eropa selama Maret 2025, para pemain non-pelatnas PBSI mampu menunjukkan eksistensinya. Salah satunya adalah ganda campuran Indonesia yakni Rehan Naufal Kusharjanto/ Gloria Emanuelle Widjaja. Pasangan PB Djarum itu mampu tampil fenomenal dengan mengoleksi 1 (satu) gelar juara dan 2 (dua) buah runner-up dari turnamen yang diikuti. Gelar juara didapat dari Polish Open 2025 dan juara dua diraih di German Open 2025 serta Orleans Masters 2025.
Selain itu, pemain non pelatnas lainnya adalah Sabar Karyaman Gutama/Moh. Reza Pahlevi Isfahani yang telah menunjukkan prestasi apik sejak 2024. Bahkan pada All England 2025, pasangan peringkat 7 (tujuh) dunia itu mampu melaju ke semifinal -sebelum tumbang oleh rekannya Leo Rolly/ Bagas. Sementara pemain pelatnas, hanya ganda putri Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti yang mampu berjaya di Thailand Masters 2025 berlevel Super 300.
Sekali lagi hanya 1 (satu) gelar untuk pemain asuhan PBSI. Sementara predikat “sekedar” finalis didapat oleh Jonathan Christie, dan Fajar/ Rian di turnamen Indonesia Master. Sedangkan Bagas Maulana/ Leo Carnandao mendapatkan runner up di turnamen paling bergengsi di dunia, yakni All England.
Maka pantas kemudian wartawan menanyakan ke Wakil Ketua Umum I Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), Taufik Hidayat, apakah pengurus atau pejabat teras PBSI merasa iri dan cemburu(?). Taufik menegaskan tak ada rasa iri kepada para pemain non-pelatnas, yang saat ini lebih berprestasi ketimbang para penghuni Cipayung. Taufik justru mempertanyakan para pemain yang ada di Pelatnas PBSI karena kalah bersaing.
Kata Taufik -mengutip dari laman sports[dot]okezone[dot]com- adalah sebagai berikut, “Kalau memang mereka di luaran lebih bagus, kami bersyukur sama-sama buat Indonesia kok. Tapi berbeda-beda latihannya, berbeda caranya. Kami enggak iri, enggak cemburu. Tapi kami menyayangkan yang ada di pelatnas. Kok bisa begitu? Harusnya mereka bukan emosi tapi jadi pacuan. Kan fasilitas sudah ada semua di pelatnas. Latihan, asrama, tinggal makan, paspor diurus tinggal ambil di Cengkareng. Pikirkan apa lagi coba? Yang di luar, cari tempat sendiri, latihan, sparring, pelatih, hotel, berpikir sendiri, jadwal, daftar sendiri. Maksudnya, di sini kan hanya tinggal pikir latihan yang benar, pertandingan, cari prestasi, sudah. Enggak usah bikin yang lain. Kontrak sponsor sudah punya masing-masing. Dari awal sudah tahu angkanya berapa. Fresh money? Sudah langsung. Apa lagi?” ucap Taufik di depan awak media di Pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta, dikutip Jumat Wage (28/3/2025) bertepatan 28 Ramadan 1446 H.

Keterangan: Taufik Hidayat (tampak depan) didampingi oleh Kabid Binpres PBSI, Eng Hian. Gambar dari detik[dot]com
Yang ketiga ialah langkah PBSI untuk “meramu” pasangan baru ganda putri dan ganda campuran. Kombinas baru telah terbentuk: Apriyani Rahayu/ Febi Setianingrum di ganda putri, dan Verrel Yustin Mulia/ Lisa Ayu Kusumawati di XD.
Memulai triwulan kedua, PBSI akan mengirim mereka ke turnamen BWF World Tour yaitu ke ajang Taipei Open dan Thailand Terbuka tahun 2025 ini. Untungnya mereka memiliki perangkit individu untuk ganda sudah tergolong “ciamik”, sehingga berdasarkan Main & Qualifying kedua turnamen tersebut, Apriyani/ Febi dan Verrell/ Lisa sudah bisa tembus ke babak utama 32 besar.
Walhasil tahun 2025 memang akan terasa berat. Terutama terjadi efisiensi di APBN kita yang berdampak ke olahraga -seperti terjadinya pengurangan biaya persiapan untuk kejuaraan (misal untuk Sea Games 2025). Apa boleh buat karena perang sudah di depan mata. Yang paling kekinian adalah di akhir April kita akan menghadapi Sudirman Cup dengan Tiongkok sebagai tuan rumah.
Mengutip kata-kata Jenderal Charles de Gaulle saat di Inggris pada tanggal 20 Mei 1940. Legenda panglima perang Perancis itu mengeluarkan pidato yang nantinya terkenal karena disiarkan melalui Radio BBC yang ditujukan kepada semua warga Perancis, “La France a perdu une bataille! Mais la Franve n’a pas perdu la guerre“. Artinya: Kita telah kalah dalam satu pertempuran, tapi kita belum kalah perang. Triwulan pertama dilalui dengan banyak kekalahan PBSI, tapi kita tidak kalah untuk semangat bertempur. Masih ada perang lain di depan mata!
ditulis oleh YUNIANDONO ACHMAD, SE, ME, pengamat olahraga dari Bogor


