oleh: YUNIANDONO ACHMAD. Setelah zonk di turnamen berbintang Super 1000 dalam 2 (dua) tahun terakhir ini, PBSI mendapatkan momennya saat Fajar/ Fikri menjuarai China Open akhir bulan Juli lalu. Sesudah itu, Alwi Farhan menjuarai Macau Open level 300 awal Agustus. Selang sepekan kemudian, Christian Adinata menjuarai Thailand International Challenge dalam partai “all Indonesian final” melawan yuniornya, Richie Duta Ricardo.
Keberhasilan Fajar Alfian/ Muhammad Shohibul Fikri seakan memercik atau bahkan membuka tutup kotak pandora kegagalan selama ini. Perihal ini bisa menjadi semacam titik Turning Point atau pembalikan atas nir prestasi pemain PBSI.
Keberhasilan duo F (Fajar/ Fikri) seperti permulaan jayanya “duo R” (Ricky Subagja/ Rexy Mainaky) di tahun 1995 dulu. Duo R menjuarai All England 1995 juga 1996, lalu Olimpiade Atlanta 1996 dan penyumbang tetap skor kemenangan tim Thomas dari 1994 sampai dengan 2002. Inisial kembar lainnya yaitu SS (Susy Susanti) yang memulai pemain tunggal putri Indonesia untuk menjadi juara, dari mulai All England 1990, kemudian Olimpiade Barcelona 1992, dan puncaknya piala Uber (beregu) di tahun 1994 dan 1996.
Bukannya mengecilkan kemenangan-kemenangan sebelumnya, tapi kemenangan di kandang macan (bahkan kandang naga) yakni Tiongkok, dengan embel-embel turnamen termahal di dunia akan memberi kredit tersendiri. Sejak awal tahun 2025 ini kemenangan baru bisa dipersembahkan oleh ganda putri Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti di Thailand Master (level 300) dan pemain XD kita Jafar Hidayatullah/ Felisha Alberta Nathaniel Pasaribu menjadi kampiun dalam ajang Taipei Open 2025 (lagi-lagi level 300). Pasangan Jafar/ Felisha memenangi All Indonesian Final atas sekondannya Dejan Ferdinansyah/ Siti Fadia Silva Ramadhanti.
Setiap periode suram selalu menyimpan peluang kebangkitan. Dan momen itu tampaknya mulai datang pada pertengahan tahun 2025. Meski turnamen selain Fajar/ Fikri itu tergolong level menengah ke rendah, sisi positifnya adalah para kampiun dari Indonesia ini terhitung masih usia muda (di bawah 25 tahun). Hanya Fajar Alfian saja yang di atas 26 tahun.
Artinya sinyal regenerasi PBSI mulai berkedip, ia menemukan arah yang benar. Semoga konsistensi dan semangat juang para atlet muda ini berlanjut ke depannya. Kita berharap langkah PBSI memulai cahaya yang terang dan bahkan benderang di bulan tahun berikutnya.
Kira kira dari mana kunci kemenangan ini? Menganggap bahwa kampiunnya Fajar/ Fikri menjadi “turning point” yang memicu rentetan kemenangan -karena menjadi penyemangat pemain pribumi lainnya- bisa menjadi salahsatu faktor. Pada sisi lain, kemungkinan PBSI belajar dari rentetan kegagalan, barangkali termasuk perlu/ tidaknya Wakil Menteri Olahraga untuk tidak sering-sering memberi pernyataan pers. Untuk yang terakhir ini tentunya baru asumsi semata. Tidak perlu uji signifikansi atau tidak, namun hanya bersifat menengarai dari beberapa fenomena yang ada.
Bisa jadi sinyalemen pelatih ganda Malaysia -yaitu Rexy Mainaky- benar juga. Bahwa kemenangan Fajar/ Fikri sebagai pasangan dadakan, sekaligus non unggulan membuktikan bahwa persaingan ganda putra sangat ketat. Yang menjadi juara adalah yang belum diamati permainannya oleh lawan.
Uniknya lagi, pasangan Fajar/ Fikri ini dua-duanya adalah pemain depan (bukan pemain belakang atau penggebuk). Kejadian ini mengingatkan pada pasangan Rudy Gunawan/ Ricky Subagya yang dua-duanya adalah pemain depan, namun menjadi juara dunia tahun 1995. Waktu itu pasangan sebenarnya dari Gunawan adalah Bambang Supriyanto, sedangkan Ricky adalah Rexy Mainaky. Namun baik Bambang maupun Rexy kondisi sakit saat itu.
Kini, tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa momen turning point ini tidak hanya blietzkrieg atau hanya menjadi kilatan sesaat. PBSI harus mampu mengelola prestasi ini sebagai pijakan untuk kembali step by step menguasai panggung utama bulutangkis. Perlu pembinaan yang konsisten, pemilihan turnamen yang strategis, dan dukungan penuh terhadap atlet muda berbakat serta kerjasama dengan klub di daerah.
Belajar dari Tiongkok, mereka telah membuktikan punya kemampuan recovery atau bangkit dari keterpurukan. Tahun 1992 mereka tanpa gelar di olimpiade Barcelona, kemudian Asian games 1994 di Hirosima juga zonk. Tahun 1992-2003 tanpa gelar Thomas Cup, namun pelan-pelan mereka membangun kekuatan yuniornya, dan perkuat jenjang usia senior ke yunior.
Dan jika momen Fajar/Fikri, Alwi Farhan, Christian Adinata, serta talenta-talenta muda lainnya dimanfaatkan dengan bijak, bukan tidak mungkin kita akan memasuki babak baru kejayaan bulutangkis Indonesia.
Kemenangan Fajar/ Fikri sebagai turning point memang ada risikonya. Yaitu terkait sustainability. Pasangan dadakan akankah bertahan atau Kembali ke pasangan awalnya. Selain itu, pada peristiwa lainnya di saat yang bersamaan, perombakan juga terjadi pada ganda putri. Sayangnya, salahsatu pemain yang dirombak -antara Apriyani atau Siti Fadia- mengalami cedera. Akankah pasangan yang bisa berangkat (yang tidak cedera) mengundurkan keikutsertaan di turnamen berikutnya, atau kembali ke pasangan semula. Memang complicated bagi PBSI.
Titik turning point ini mengingatkan pada kisah Joanne Rowling. Pada awal 1990-an ia hanyalah single mother dalam kondisi sulit di Inggris. Kemudian ia menulis kisah tentang Harry Potter yang bersekolah di sekolah sihir Hogwarts. Namun banyak penerbit menolaknya. Turning point datang ketika naskah itu sampai di tangan Bloomsbury, sebuah penerbit kecil di London. Putri penerbit yang usia SD begitu terpesona dengan kisah Harry, Hermione, dan Ron. Kemenarikan sang anak ini yang membuat PT Bloomsbury akhirnya memutuskan untuk menerbitkan Harry Potter and the Philosopher’s Stone pada tahun 1997. Tahun-tahun bselanjutnya menjadikan J.K. Rowling salah satu penulis paling sukses sepanjang masa.
Akankah kisah duo F (fajar fikri) ini menjadi turning point layaknya JK Rowling. Kita tunggu nanti, sembari mendengar lagu tahun Jimmy Buffett di tahun 1996. Katanya Only Time Will Tell, yang selengkapnya only time will tell if I am right or I am wrong,
Only time will tell, is there a message in this song?
Artikel opini ini ditulis oleh Yuni Andono Achmad, S.E., M.E.. pemerhati bulutangkis dari kota Bogor, Jawa Barat.


