Kamis, Agustus 7, 2025
BerandaHeadlineIntegritas Polisi Dapat Dipengaruhi Oleh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi

Integritas Polisi Dapat Dipengaruhi Oleh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi

Pekanbaru (Nadariau.com) – Umil Khoiriah, mahasiswa Program Magister Manajemen konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) di Sekolah Pascasarjana Universitas Lancang Kuning (Unilak), mengangkat topik penting dalam pengelolaan sumber daya manusia khususnya dalam konteks institusi besar seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Dalam bimbingan akademik oleh Dr. Richa Afriana Munthe, S.E., M.M. dan Dr. Imran Al Ucok Nasution, S.T., M.M., Umil menyoroti relevansi teori peran (role theory) dalam manajemen organisasi Polri yang dikenal memiliki struktur hirarki yang ketat, sistem komando yang tegas, serta ekspektasi sosial yang tinggi terhadap anggotanya.

Dalam paparannya, Umil menjelaskan anggota kepolisian Republik Indonesia tidak hanya mengemban tugas sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelayan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, peran ganda ini kerap menimbulkan tekanan psikologis dan konflik peran yang tidak ringan.

Berdasarkan pendekatan teori role dalam ilmu sosial, setiap anggota kepolisian memikul sejumlah peran sosial yang diatur oleh status dan struktur organisasi mereka.

Seorang polisi lalu lintas, misalnya, diharapkan menindak pelanggaran secara tegas, namun di saat yang sama juga dituntut untuk bersikap humanis dan empatik kepada masyarakat.

“Kadang personel kepolisian berada di posisi sulit. Masyarakat ingin ia tegas, tapi saat melakukan penindakan dianggap tidak punya toleransi,” kata Umil.

Konflik peran juga kerap muncul saat tuntutan dari atasan atau tekanan politik berbenturan dengan nilai keadilan dan profesionalisme. Hal ini dapat menyebabkan stres kerja yang tinggi, bahkan menurunkan performa dan integritas anggota.

Pendapat Umil turut mendapat tanggapan dari Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia, Dr. Rini Wulandari. Dimana ia menjelaskan bahwa dalam teori role, hal ini disebut sebagai role conflict (konflik peran) dan role strain (ketegangan peran).

“Polisi diharapkan memainkan banyak peran sekaligus, dan ketika harapan-harapan itu saling bertentangan, muncullah tekanan yang serius pada individu,” jelasnya.

Untuk itu, reformasi kelembagaan dan peningkatan kapasitas psikologis anggota dinilai penting. Pelatihan soft skill, manajemen stres, dan pembinaan etika profesi dapat membantu anggota kepolisian menjalankan perannya secara lebih seimbang.

“Masyarakat punya ekspektasi tinggi. Tapi di balik itu, kita juga harus mengakui bahwa polisi adalah manusia biasa yang punya batas emosi dan daya tahan,” pungkas Dr. Rini.

Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai peran sosial polisi, diharapkan publik dan institusi kepolisian dapat saling mendukung dalam menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan manusiawi.

Menurut Umil, teori peran sangat cocok untuk menganalisis dinamika kerja di tubuh kepolisian.

Umil menekankan bahwa pengelolaan SDM di lembaga formal seperti Polri dapat diperkaya, seperti keadilan, amanah, dan ihsan dalam pelayanan publik. Pendekatan ini diyakini mampu menyeimbangkan antara fungsi penegakan hukum dan sisi kemanusiaan yang berlandaskan akhlak mulia.

“Setiap jabatan adalah amanah. Maka peran sebagai anggota Polri bukan sekadar profesi, tapi juga tanggung jawab moral dan spiritual,” ungkap Umil dalam paparannya.(***)

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Berita Populer