Siak (Nadariau.com) – Langkah humanis dan berkeadilan ditunjukkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Siak. Melalui pendekatan Restorative Justice (RJ), Korps Adhyaksa itu resmi menghentikan penuntutan terhadap Agus Muliono, tersangka dugaan tindak pidana pencurian sepeda motor.
Kasus ini bermula pada Minggu (20/04/2025) sekitar pukul 12.00 WIB. Saat itu, Agus Muliono yang tengah berada di halaman Masjid Al-Fatah, Camp PT PHR, Kampung Minas Barat, Kecamatan Minas, Kabupaten Siak, menemukan sebuah kunci motor.
Ia mencoba kunci tersebut pada sepeda motor Honda Supra X 125 hitam dengan nomor polisi BM 3092 ST. Motor menyala dan langsung dibawa keluar area masjid.
Namun, saat hendak melewati gerbang, tersangka diberhentikan oleh petugas keamanan yang curiga karena tidak mengenakan helm.
Tak lama kemudian, salah satu petugas keamanan, Riski, mengenali sepeda motor itu sebagai miliknya. Setelah diinterogasi, Agus tak dapat mengelak dan langsung diamankan ke Polsek Minas bersama barang bukti.
Namun, setelah berkas perkara dipelajari secara mendalam, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Seksi Tindak Pidana Umum (Pidum) Kejari Siak mengusulkan penyelesaian perkara melalui Restorative Justice.
“Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun, adanya perdamaian antara korban dan pelaku, serta pertimbangan kemanusiaan dan potensi pelaku untuk diperbaiki,” ujar Kepala Kejari (Kajari) Siak, Moch Eko Joko Purnomo melalui Kepala Seksi (Kasi) Intelijen, Frederick C Simamora, Rabu (02/07/2025).
Mediasi dilaksanakan di Rumah Restorative Justice Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau) Kabupaten Siak dan dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk JPU, penyidik Polsek Minas, Ketua LAM Riau Kabupaten Siak, tokoh masyarakat, korban, tersangka, serta keluarga dan saksi-saksi.
Frederick menyampaikan bahwa permohonan penyelesaian perkara melalui RJ telah disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI.
Frederick menegaskan bahwa pendekatan RJ ini merupakan bentuk nyata komitmen Kejaksaan dalam menciptakan penyelesaian hukum yang tidak hanya bersifat represif, tetapi juga restoratif, edukatif, dan preventif.
Dia menjelaskan bahwa penghentian penuntutan ini menunjukkan wajah baru penegakan hukum di Indonesia.
“Keadilan tidak selalu harus dibalas dengan hukuman. Ketika pelaku menunjukkan penyesalan dan korban bersedia memaafkan, maka proses hukum harus bisa menjadi ruang untuk pemulihan, bukan sekadar pembalasan. Inilah esensi keadilan restoratif yang kami terapkan,” sebut Frederick.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa pendekatan seperti ini akan terus didorong, terutama untuk perkara-perkara ringan yang masih memberi harapan perbaikan bagi pelakunya.
“Restorative justice bukan hanya menyelesaikan perkara, tapi juga membangun kembali harmoni sosial yang sempat retak. Ini adalah bentuk kehadiran negara yang humanis di tengah masyarakat,” tutupnya.(sony)