Senin, Mei 12, 2025
BerandaHeadlineNegara Harus Hadir: Perlindungan Hukum Petani Lokal dalam Sistem Distribusi Hasil Pertanian

Negara Harus Hadir: Perlindungan Hukum Petani Lokal dalam Sistem Distribusi Hasil Pertanian

Penulis: Agus Nugroho
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning dan Pelaku Usaha Pertanian

Setiap musim panen, petani di berbagai daerah di Indonesia dihadapkan pada kenyataan pahit: hasil panen melimpah, tetapi harga jatuh. Ini bukan fenomena baru. Tahun demi tahun, skenario ini terus berulang. Petani bekerja keras sejak awal musim tanam, berjibaku dengan cuaca, hama, dan mahalnya pupuk, namun saat tiba waktunya menjual hasil panen, mereka tidak memiliki daya tawar.

Sementara itu, konsumen di pasar tetap membayar dengan harga tinggi. Lalu siapa yang diuntungkan? Sudah menjadi rahasia umum bahwa distribusi hasil pertanian di Indonesia dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal, akses logistik, dan jaringan pasar yang luas – sementara petani sebagai produsen justru menjadi pihak paling lemah dalam mata rantai tersebut.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang mengemuka adalah dimana peran negara, khususnya dari sisi hukum, dalam melindungi petani lokal?

Realitas Ketimpangan yang Mengakar

Sistem distribusi hasil pertanian di Indonesia masih bersifat konvensional dan timpang. Petani di desa-desa terpencil kerap tidak memiliki akses langsung ke pasar yang lebih menguntungkan. Mereka bergantung pada pengepul atau tengkulak yang menetapkan harga sepihak, tanpa mekanisme tawar-menawar yang adil. Bahkan, ada praktik yang secara hukum layak disebut sebagai eksploitasi ekonomi terselubung.

Sebagai contoh, seorang petani talas ungu di daerah pedesaan Jawa Tengah menceritakan bahwa hasil panennya hanya dihargai Rp2.000 per kilogram oleh pengepul, padahal biaya produksinya mencapai hampir Rp3.500 per kilogram. Sementara di kota, talas yang sama dijual dengan harga lebih dari Rp10.000 per kilogram. Ketimpangan harga ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tapi juga mematikan semangat petani untuk bertani.

Tidak sedikit pelaku usaha yang memanfaatkan kondisi ini dengan membeli hasil tani dari petani dengan harga sangat murah. Motif keuntungan besar memang sah secara ekonomi, tetapi praktik seperti ini bila dibiarkan, akan membawa dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan nasional. Semangat generasi muda untuk menjadi petani akan luntur, dan pertanian akan ditinggalkan.

Kerangka Hukum yang Belum Kuat

Secara normatif, Indonesia memiliki beberapa regulasi yang seharusnya bisa melindungi petani. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU P3). Undang-undang ini menekankan pentingnya jaminan harga, ketersediaan sarana produksi, hingga perlindungan dari risiko kerugian.

Namun dalam implementasinya, UU ini belum memberikan dampak signifikan di tingkat akar rumput. Banyak daerah belum memiliki peraturan turunan atau kebijakan konkret yang bisa memastikan distribusi hasil tani dilakukan secara adil dan transparan. Lemahnya pengawasan dan minimnya keterlibatan pemerintah daerah membuat sistem distribusi dikuasai oleh pasar bebas yang tak terkendali.

Padahal, dalam konstitusi, secara tegas dinyatakan bahwa “bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 UUD 1945). Maka menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa petani sebagai pelaku utama pertanian tidak menjadi korban dari sistem distribusi yang timpang ini.

Pemerintah Harus Bertindak Nyata

Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah konkret dan terukur untuk memperbaiki sistem distribusi hasil pertanian di Indonesia. Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan, antara lain:

1. Revitalisasi koperasi petani. Koperasi harus difungsikan kembali sebagai lembaga yang bisa mengelola hasil panen petani, memberikan kepastian harga, dan menjadi perantara antara petani dan pasar.

2. Pembangunan infrastruktur distribusi. Pemerintah harus membangun gudang penyimpanan, jalur distribusi, dan sistem logistik yang efisien agar petani tidak tergantung pada tengkulak.

3. Pemanfaatan teknologi digital. Pasar digital pertanian harus dikembangkan agar petani bisa menjual langsung ke konsumen atau pengusaha, tanpa melalui perantara yang merugikan.

4. Regulasi harga dasar hasil pertanian. Pemerintah harus menetapkan harga dasar bagi komoditas pertanian strategis, agar tidak ada lagi praktik pembelian di bawah harga wajar.

5. Pemberian insentif dan perlindungan hukum. Pelaku usaha yang membeli dengan harga wajar, memberi pelatihan, dan membuka akses pasar harus didukung dengan insentif khusus.

Dukung Pengusaha Lokal untuk Ekspor

Sebagai pelaku usaha pertanian, saya melihat potensi besar produk lokal untuk menembus pasar ekspor. Namun upaya ke sana tidak mudah. Banyak pengusaha kecil dan menengah terkendala modal, tidak tahu prosedur ekspor, dan menghadapi birokrasi yang panjang dan rumit.

Padahal, jika pemerintah memberikan dukungan penuh – baik berupa pelatihan ekspor, pendampingan hukum, pembukaan akses ke pasar luar negeri, hingga fasilitasi sertifikasi – maka bukan hal mustahil kita bisa menjadi pemain kuat di pasar global.

Dukungan kepada pelaku usaha lokal seperti kami sejatinya bukan hanya membantu bisnis kecil berkembang, tetapi juga menciptakan pasar baru bagi hasil panen petani. Dengan adanya jembatan ini, petani bisa menjual dengan harga layak, usaha kami bisa berkembang, dan negara mendapatkan pemasukan dari sektor ekspor.

Penutup

Petani adalah tulang punggung bangsa. Mereka bekerja dalam senyap, namun hasilnya dinikmati oleh seluruh masyarakat. Sudah seharusnya hukum hadir untuk melindungi mereka dari praktik distribusi yang tidak adil. Negara tidak boleh absen.

Saatnya kebijakan hukum dan ekonomi bersatu untuk membangun sistem distribusi yang berkeadilan – dimana petani dihargai, pelaku usaha diberdayakan, dan masyarakat diuntungkan.

Kita semua punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keadilan bukan hanya milik mereka yang kuat dan bermodal, tetapi juga milik para petani di sudut-sudut desa yang selama ini terpinggirkan dalam sistem. Saat negara benar-benar hadir, maka pertanian akan menjadi sumber kekuatan, bukan sekadar sektor pelengkap dalam ekonomi nasional. ***

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Berita Populer