Penulis   : Alin Indra Jaya
Wartawan : Nadariau.com
Pekanbaru (Nadariau.com) – Siang itu sekitar pukul 14.00 WIB, warga Giam Siak Kecil, Provinsi Riau dikejutkan dengan deruman suara gajah yang datangnya tidak jauh dari pemukiman mereka. Dengan nada serasa berbisik, warga saling bertanya, “Apakah kalian mendengar suara itu?”
Dibayangi raut wajah cemas mereka sama-sama mengangguk, menandakan mereka juga mendengar suara deruman tersebut.
Tidak berselang lama, Suparto, Pengurus Kelompok Tani Hutan Alam Pusaka Jaya, datang bergegas menghampiri warga. Ia menyampaikan barusan menerima informasi dari operator pusat pengendalian gajah di Wilayah Kerja Pertamina Hulu Rokan (WK-PHR) Riau, bahwa saat ini ada sekawanan gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrensis) yang dikenal dengan kelompok ‘Gajah Seruni’ terdeteksi melalui Global Positioning System (GPS) tengah mendekat ke permukiman warga.
Warga pun membenarkan penyataan Suparto tersebut manakala suara deruman gajah semakin kuat terdengar.
Rasa takut ditingkahi rasa penasaran warga ingin melihat dari mana sumber suara tersebut. Dengan berjalan pelan dan hati-hati mereka pun menelusuri hutan sawit. Alhasil mereka bisa melihat sekelompok gajah yang diketahui dari kelompok Gajah Seruni sedang mandi di sebuah kubangan.
Dilihat dari jauh, gerombolan gajah itu tampak girang bermain. Kemudian menderum dan mendengus sahut-bersahut. Telinga lebarnya di kibas-kibaskan untuk menyiram tubuh besarnya. Belalainya mengisap dan menyemburkan air ke gajah-gajah lain. Begitu juga gajah lain senang bermandikan lumpur berwarna coklat ke abu-abuan. Setelah satu sisi basah, mereka membalikkan badannya supaya bisa merendam tubuh sebelah lagi. Hingga akhirnya gajah-gajah ini tertidur dalam kubangan.
Warga yang terpana masih menonton dari kejauhan. Mereka merasa senang melihat tingkah lucu para gajah. Namun di sisi lain, muncul juga perasaan takut. Jika malang tak dapat ditolak, kelompok Gajah Seruni ini bisa datang ke pemukiman dan memporakporandakan rumah serta menyerang warga.
Namun rasa takut itu dipatahkan oleh Suparto. Biarkan saja Datuk (Penyebutan gajah, red) itu tidur sampai puas. Jangan pernah membangunkan gajah sedang tidur, sebab jika di bangunkan, maka mereka akan panik, marah dan beringas. Gajah akan mengamuk kesana kemari dan menghantam apa yang terdekat dengan mereka. Makanya, gajah sering mengejar manusia, menumbangkan pohon-pohonan, masuk ke pemukiman warga serta menderum selantang-lantangnya untuk melepaskan emosinya.
Namun jika tidurnya bisa pulas dan puas, maka tubuhnya akan terasa ringan, pikirannya terasa tenang. Nanti setelah mereka bangun, baru disuruh pergi dengan nada sopan. Gajah itu juga memiliki perasaan sama seperti manusia. Dan gajah itu juga mengerti bahasa manusia.
“Jika kita hormati, maka Datuk akan menghormati kita, Jika kita takabur maka kita tidak akan selamat. Gajah itu akan mengejar dan menyerang kita sampai mampus,” kata Suparto dengan suara pelan menyadarkan beberapa orang warga sedang cemas yang ikut menyaksikan gajah mandi di kubangan.
Nasehat Suparto ini benar adanya. Sekitar pukul 17.00 WIB petang, Gajah Seruni yang berjumlah sekitar 19 ekor itu sudah bangun dan mulai keluar kubangan. Dari kejauhan Suparto langsung menyampaikan, “Datuk, di sini ada anak cucu Datuk. Kami takut, jadi pergilah ke hutan mencari makan. Jangan ganggu kami tuk, ” ucap Suparto dengan suara bernada takut dan bersiap lari jika gajah itu berbalik menyerangnya.
Kawanan gajah yang sedang berjalan pelan tadi, sejurus langsung berhenti dan mengembangkan telinganya, seakan-akan mendengarkan ucapan Suparto. Setelah ucapan itu disampaikan, telinga gajah langsung diturunkan dan kakinya kembali melangkah menuju hutan rimba. Rombongan Gajah Seruni berjalan beriringan menelusuri barisan kebun sawit sampai hilang dari pandangan mata.
Git Fernando dari Non Governmental Organization (NGO) Rimba Satwa Foundation (RSF) Duri pernah mengatakan, gajah juga memiliki perasaan sama seperti manusia. Jika ingin selamat jangan pernah berkata takabur atau menghardik dan/atau menyepelekan dengan kata-kata kasar. Gajah bisa mengejar dan menyerang manusia dengan ganas. Namun jika diperlakukan dengan baik, maka gajah bisa menjadi teman serta menjadi tunggangan manusia atau untuk membawa beban berat.
Daerah pelintasan gajah di Provinsi Riau ada sekitar 18 desa. Jumlah habitat gajah yang terpantau diperkirakan ada sebanyak 75 ekor. Kantong Gajah (kawasan/tempat bermain) ada sekitar 3 desa. Yaitu di Desa Balai Raja ada sekitar 2 ekor, Giam Siak Kecil 50-60 ekor, Petapahan 9 ekor, dan sisanya tersebar di desa lain.
Gajah ini hidup berkelompok dan juga hidup secara liar. Kelompok yang terdata ada sebanyak 7 kelompok, yakni Kelompok Seruni, Rara, Nai, Almia, Awita, Codet dan Gajah Jantan (Tunggal). Masing-masing kelompok ini tersebar di 18 desa di Riau. Dan antar kelompok ini tidak pernah bertemu, karena mereka sudah memiliki lumbung atau kawasan bermain sendiri-sendiri.
Setiap kelompok memiliki seekor ketua. Maka ketua rombongan ini yang mengatur dan melindungi kelompoknya dari ancaman manusia maupun gajah liar. Jika ada gajah liar yang mengganggu, maka ketua ketua kelompok akan bertarung mengusir gajah liar tersebut. Hingga saat ini kelompoknya selalu aman dari ancaman gajah liar maupun dari manusia jahat yang ingin membunuh gajah untuk mendapatkan gading.
“Di Riau banyak cerita-cerita yang menceritakan persahabatan antara gajah dengan manusia. Sehingga nenek moyang kita dulu tidak pernah berkonflik dengan gajah. Karena mereka paham bagaimana cara memberlakukan dan menghormati gajah agar tidak mengganggu warga. Sebaliknya gajah juga turut menjaga pemukiman dengan caranya sendiri. Sehingga setiap ada bahaya yang mengancam keselamatan warga, seperti ada binatang buas akan masuk kampung, maka Datuk itu lebih dulu mengusir ancaman itu. Sehingga keamanan warga bisa terjamin berkat Datuk,” kata Git Fernando didampingi Zulhusni Syukri temannya dari NGO RSF.
Jaga Keseimbangan Ekosistem Bumi
Diakui, saat ini kondisi gajah setiap tahun semakin terjepit akibat perluasan kawasan perkebunan sawit dan kayu Akasia serta perluasan pemukiman masyarakat ke lokasi baru. Ditambah lagi ada perburuan gajah dengan cara ditembak bius dan diracun. Kondisi ini akan semakin menjadikan gajah kekurangan makanan dan tempat bermain.
Makanya gajah sering terlihat ditemukan secara liar di alam bebas, seperti dalam kebun maupun di pemukiman masyarakat. Gajah itu tidak salah, yang salah itu manusianya. Karena kubangan yang dulu tempat tidur siangnya di tengah hutan, sekarang sudah berubah menjadi kawasan perkebunan. Yang dulu wilayah itu tempatnya mencari makan, saat ini sudah menjadi pemukiman.
Untuk menjaga keseimbangan gajah, manusia dan hutan, NGO RSF bersama kelompok tani masyarakat di bawah binaan PHR telah melakukan penanaman Rumput Odot, Bambu Pisang Gajah. Tumbuhan ini ditanam di daerah perlintasan dan kawasan bermain gajah.
Kemudian kepada manusianya, dibuat Program Agroforestri. Dimana kelompok tani dibina dengan diberikan bantuan bibit Gaharu, Durian, Kopi, Matoa dan bibit lain. Tanaman hutan ini tidak disukai gajah, sehingga bisa dipanen dengan selamat. Kemudian, kelompok tani juga diberi kambing, sapi dan bebek untuk dipelihara. Tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat di kawasan gajah.
Sejak ada program ini, ada keseimbangan antara manusia, gajah dan hutan. Sehingga sejak ada program tersebut, ekonomi masyarakat jauh meningkat. Anak-anak bisa disekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Dan di sisi lain boleh dikatakan tidak ada terjadi konflik antara manusia dengan gajah.
“Sebenarnya, gajah adalah penjaga keseimbangan ekosistem bumi. Dimana gajah memakan tumbu-tumbuhan hutan. Kemudian gajah berjalan dan mengeluarkan kotoran secara tersebar. Maka di setiap kotorannya akan tumbuh bibit tumbuhan baru yang nanti akan manjadi pohon hutan. Jadi kita wajib menjaga habitat gajah dengan berbagai cara, supaya gajah bisa menjaga kelestarian hutan dan bumi dengan baik,” kata Zulhusni Syukri.
Ketua Kelompok Gajah Dipasang GPS Collar
Analyst Social Performance PHR Priawansyah mengatakan, sejak PT PHR mulai memegang kewenangan Blok Rokan pasca peralihan dari PT Chevron Pasific Indonesia (PT CPI) ke PT Pertamina tahun 2021, PHR berkomitmen berupaya melestarikan gajah liar dan gajah jinak di Provinsi Riau. Sehingga terwujud keseimbangan antara manusia, Gajah dan hutan.
Saat ini jumlah gajah liar di Wilayah Kerja Blok Rokan terpantau sebanyak 75 ekor. Sementara gajah jinak di penangkaran BKSDA Minas ada sekitar 15 ekor. Untuk pemeliharaan gajah jinak, PHR telah bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau dan mitra kerja dari masyarakat lokal. PHR telah membantu dukungan dana yang diperuntukan untuk pembiayaan infrastruktur dan pakan gajah sekitar Rp1,8 miliar setahun.
Kemudian untuk gajah liar, PHR telah memasang GPS Collar berbasis satelit di leher ketua gajah di setiap kelompoknya. Hingga saat ini, jumlah GPS sudah dipasang ada sebanyak lima kelompok. GPS Collar berfungsi sebagai tracking dan monitoring gajah. Sehingga keberadaan gajah dapat terdeteksi setiap saat melalui layar monitor di kantor pusat pengendalian Gajah yang berada di Wilayah Kerja PHR.
Selanjutnya, jika ada gajah mendekati perkampungan warga, maka tim operator pengawas akan segera memberi kabar kepada tetua kampung supaya bisa berhati-hati dan dapat mengusir gajah dengan sopan. Sebab jika gajah diusir dengan kasar, seperti diburu, disoraki dan maki-maki, maka bisa berakibat fatal terhadap keselamatan warga.
Jika ada gajah liar yang berbuat onar dengan mengganggu kebun atau manusia, maka mahout (pawang gajah) akan menyuruh ketua kelompok atau gajah yang disegani untuk mengusir gajah liar tersebut. Sebab gajah juga memiliki ketua dan bisa memburu gajah lain bagi yang tidak patuh kepadanya.
“Sejak awal PHR berdiri di Riau tahun 2021, PHR telah membuat program konservasi untuk melindungi habitat gajah di Riau. Karena gajah adalah salah satu binatang penjaga keseimbangan bumi. Dimana, setiap kotorannya akan mengeluarkan biji-bijian tanaman hutan yang akan tumbuh dan besar secara sendirinya. Jadi kita telah melakukan berbagai program untuk menjaga kelestarian gajah di Riau,” kata Priawansyah saat menerima rombongan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Riau yang sedang berkunjung ke Kota Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada Tanggal 8 Juni 2024, dalam rangka Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) JMSI Riau ke-4.
JMSI Dukung Program PHR
Melihat upaya dan usaha PHR bersama lembaga dan masyarakat menjaga habitat gajah, membuat hati Wakil Ketua JMSI Riau Tun Ahyar tersentuh. Sebab, setiap makhluk hidup wajib dijaga serta dilindungi, baik secara perbuatan maupun secara lisan.
Allah SWT sangat memuliakan setiap insan yang menjaga kehidupan dan keselamatan jiwanya. Kemudian setiap makhluk hidup juga memiliki hak untuk melangsungkan kehidupannya dan didayagunakan untuk kepentingan kemashlahatan manusia.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) didampingi Menteri Kehutanan RI, telah mengeluarkan Fatwa nomor 04 tahun 2014, tentang pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem bumi.
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Satwa langka adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, air dan/atau di udara, baik yang dilindungi maupun yang tidak, termasuk yang hidup di alam bebas maupun yang dipelihara, mempunyai populasi yang kecil serta jumlahnya di alam menurun tajam, jika tidak ada upaya penyelamatan maka mereka akan punah.
Sebagaimana diketahui, Indonesia mempunyai kekayaan hayati yang sangat luar biasa. Ada sekitar 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17 persen satwa di dunia terdapat di Indonesia dan juga merupakan habitat bagi satwa langka dunia. Seperti Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Orangutan dan Badak, semuanya dalam status Kritis atau ‘critically Endangered’ dalam Daftar Merah IUCN.
Ancaman terhadap keberlangsungan populasi satwa liar tersebut antara lain berupa kerusakan habitat yang menyebabkan terjadinya konflik antara satwa dengan manusia yang seringkali berakhir dengan kematian satwa konflik. Selain konflik, perburuan dan perdagangan satwa dilindungi secara ilegal juga marak, bahkan semakin canggih, terorganisir dan melibatkan jaringan internasional.
Berbagai upaya perlindungan terhadap satwa liar telah dilakukan. Antara lain melalui peraturan perundang-undangan, upaya penegakan hukum dan penyadartahuan kepada masyarakat. Namun pelanggaran masih terus terjadi. Sehingga jumlah habitat satwa liar terus menurun, khususnya di Hutan Riau.
“Jadi untuk menjaga ekosistem khususnya di Riau, mari secara bersama-sama kita sentuh kesadaran manusia terhadap pelestarian satwa-satwa langka. Yakni melalui pendekatan sosial budaya dan kemasyarakatan. Sekarang sudah semestinya kita melindungi satwa langka sebagai bagian dari mahluk ciptaan Allah SWT. Kami dari JMSI Riau sangat mendukung Program PHR. Oleh sebab itu melalui tulisan, kami turut mengampanyekan program perlindungan satwa liar di media masing-masing,” kata Tun Ahyar penuh semangat. ***