Ki-Ka: Apriyani Rahayu dan Siti Fadia Ramdhanti. Gambar dari https://pbsi.id/2024/07/29
SEWAKTU pensiun dari dunia tenis dan menjadi pelatih, Suzanna Anggarkusuma (peraih emas sektor ganda putri untuk Asian Games 1986 dan 1990, keduanya bersama Yayuk Basuki) sempat membimbing Romana Tedjakusuma, sekitar mendekati tahun 1993. Ada satu kejadian Romana mengalami kekalahan beruntun. Kemudian wartawan menanyakan hal tersebut ke Suzana, mengapa Romana Tejakusuma akhir-akhir ini sering kalah. Coach Suzana menjawab kurang lebih, “Romana sekarang sudah tidak menangis lagi kalau kalah”.
Sebelum momen itu memang Romana dikenal sebagai pemain yang kerap menangis menyesali kekalahan. Kalau anak zaman sekarang biasa menyebutnya dengan “baper”. Namun bagusnya adalah -setelah penyesalan tersebut- Romana di pertandingan internasional berikutnya bisa sering menang. Setelah jarang menangis, yang berarti tidak menyesali kekalahannya, Romana tidak bermain begitu baik dan sering kalah.
Artinya naluri untuk “baper” yang diwujudkan dengan tangisan itu wajar, kalau kita melihat fenomena Romana di atas. Dengan catatan setelah menelan kekalahan, menangis, dan berikutnya kembali meraih rentetan kemenangan. Layaknya film “Anger Management” (2003), yang cenderung untuk menyalurkan emosi ke hal positif. Di tenis, hal ini telah menjadi kajian lama, misalnya terhadap John McEndroe dan Brad Gilbert, keduanya petenis Amerika Serikat. (Bahkan McEnroe ikut main di film tersebut). John McEndroe terkenal dengan sifat pemarah ketika di kapangan. Uniknya, setelah marah-marah, permainannya membaik, dan malah menjadi juara. Demikian juga dengan Brad Gilbert.
Kisah lain yang berkaitan dengan kegagalan Apriyani/ Siti Fadia di olimpiade 2024 ini, yaitu bertarung 3 (tiga) kali dengan 3 (tiga) kekalahan. Kita perlu merunut ke belakang. Sehabis berhasil meraih emas di Olimpiade Tokyo 2020 (yang diselenggarakan tahun 2021) Greysia Polii menyatakan di depan wartawan bahwa salah satu idola bermainnya adalah Gao Ling -pemain Tiongkok yang merebut ganda emas campuran tahun 2000 dan 2004. Greysia kagum atas sikap dan sifat Gao Ling yang selalu tersenyum -meski dalam posisi kalah pun tertinggal.
Sepertinya prinsip itu yang ditanamkan Greysia ke yuniornya, Apriyani Rahayu. Selalu tersenyum meski berbuat salah -artinya memberi poin bagi lawan. Saat Apriyani berganti pasangan (karena Greysia pensiun) sepertinya Apri masih menekankan hal ini ke Siti Fadia Ramdhanti. Agar selalu dan terus tersenyum.
Namun selama di Olimpiade 2024 ini, sepertinya senyuman itu tidak berarti manis -bagi pasangan Apri/ Fadia. Bermain sebanyak 3 (tiga) kali di grup, penampilan terbaik Apri/ Fadia ialah saat melawan sang juara Chen Qing Chen/ Jia Yifan. Terutama di set kedua ketika ketinggalan, lawan posisi match point, namun pasangan Apri/ Fadia bisa memaksa deuce. Wajah apriyani menjadi begitu “kejam” saat itu. Tidak ada senyum.
Sepertinya mengingatkan pada pertandingan Susy Susanti versus Ye Zhaoying saat final Uber Cup 1996. Ketika set kedua Susy ketinggalan (sementara set pertama milik Zhaoying), sikap mental “pembunuh” ditunjukkan Susi dengan memunculkan raut muka marah dan kebencian. Padahal selama ini Susi dikenal dengan pembunuh berdarah dingin, yang berarti tenang, tanpa ekspresi.
Kembali ke Apriyani/ Fadia. Rasanya tak elok saat menelan kekalahan pertama di grup -waktu melawan Matsumoto/ Nagahara- selesai permainan, malah foto di depan para fotografer dan/ atau wartawan di lapangan. Bisa jadi memang wartawan yang meminta, namun dalam suasana duka (karena kalah) selayaknya pemain lawan saja yang berpose sambil tersenyum.
Bisa jadi olimpiade 2024 ini terakhir bagi Apriyani, mengingat usia yang sudah 26 tahun. Kecuali mau lanjut ke ganda campuran, dengan menggandeng pemain yang lebih muda -seperti pemain Tiongkok, Huang Dongping. Untuk Siti Fadia Ramdhanti perjalanan masih panjang, masih 23 tahun.
Anyway, rasanya memang seperti ingin marah atau jengkel melihat prestasi mereka berdua di Olimpiade. Namun jejak masa lampau akan mengingatkan jasa kedua pemain ini. Walaubagaimanapun bila tidak ada Apriyani (bersama dengan Greysia Polii) maka Indonesia akan pulang tanpa emas di Oimpiade Tokyo tiga tahun lalu. Kemudian pasangan baru Apri/ Fadia, bisa meraih emas di ajang Sea Games 2023.
Cuma pesan kami untuk permainan ke depan. Berhentilah mengumbar senyum, Apriyani. Kembalilah ke jiwa petarungmu di tahun 2021 dulu. Bisa dengan Siti Fadia lagi. Atau dengan yang lain.
ditulis oleh Yuni Andono Achmad SE ME pengamat olahraga dari kab Bogor