Rempang Is Not a Place, It’s a Feeling

Penulis: Catherine Patricia Samosir Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Politik dan Pemerintahan Universitas Riau

Suatu ketika saya diminta untuk menulis tentang konflik yang terjadi di Pulau Rempang oleh dosen saya, pak Chaidir. Ini adalah isu yang menjadi sorotan di media nasional hingga internasional beberapa waktu terakhir. Isu ini ramai diperbincangkan setelah terjadi bentrok antar warga dengan aparat pada tanggal 7 dan 11 September 2023.

Saya mengikuti banyak perkembangan berita terkait baik yang online hingga yang disiarkan langsung di televisi nasional, salah satunya wawancara eksklusif antara Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia dengan Rosiana Silalahi yang ditayangkan di Kompas TV pada Sabtu malam (30/9/2023).

Dalam wawancara itu, Menteri Bahlil Lahadalia angkat bicara mengenai penolakan keras yang dilakukan oleh warga Pulau Rempang terhadap salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), yakni pembangunan Rempang Eco-City. “Ini hanya masalah komunikasi,” ujarnya dalam wawancara tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa setelah situasi dinilai tidak lagi kondusif, Ia kembali untuk mendiskusikan hal ini secara kekeluargaan dengan FORKOPIMDA dan tokoh adat setempat atas mandat presiden Joko Widodo.

Dalam wawancara tersebut, juga disebutkan sejumlah warga sudah secara sukarela mendaftarkan diri untuk direlokasi dari Pulau Rempang. Hal ini terasa janggal bagi saya.

Meskipun rencana relokasi warga dinyatakan sudah dibatalkan pada 29 September 2023, dikabarkan warga Rempang tak bisa tidur nyenyak. Mereka merasa diteror, pasokan pangan pun terancam.

Proyek yang ditargetkan pemerintah mampu menarik investasi senilai RP 381 triliun pada tahun 2080 ini, dinilai terburu-buru, represif, tidak humanis, hingga disinyalir hanya menguntungkan pihak investor semata oleh berbagai pihak.

Sependek pengetahuan saya, penolakan akan proses relokasi untuk suatu proyek pembangunan adalah hal yang lumrah terjadi. Hal ini tentu menjadi perdebatan, mengingat Pulau Rempang yang katanya sudah ada sejak tahun 1834 (bahkan diyakini sudah ada jauh sebelum itu), menjadi salah satu dari 16 kampung tua masyarakat adat Melayu.

Dari total lahan yang mencapai 17.600 hektar, rencananya akan dikelola hanya sekitar 8.000 hektar untuk proyek Rempang Eco-City, dengan pertimbangan sisanya adalah hutan lindung. Hal ini semakin membuat saya bertanya-tanya.

Mengapa harus mengganggu warga yang sudah bermukim ratusan tahun disana? Apa sih yang ada di Pulau Rempang, sampai investor begitu ngotot harus membangun disana? Apakah orang Rempang setertutup itu? Rasanya tidak mungkin karena yang saya tahu, orang Melayu, terkhususnya Melayu Kepulauan Riau adalah suku yang terbuka, ramah dan santun. Menjadi hal yang konyol jika disimpulkan bahwa orang Rempang menolak untuk berkembang, tapi mengapa proyek ini begitu fenomenal?

Semakin banyak saya membaca, semakin saya merasa buntu dalam menulis. Hingga di saat saya sedang mencoba untuk melanjutkan tulisan ini, datanglah seorang kerabat yang ternyata lahir dan besar di Batam, Kepulauan Riau.

Dengan kebetulan ini, saya langsung bertanya apa yang sebenarnya terjadi di Rempang. Seorang bapak berdarah Bugis-Melayu ini langsung berubah raut wajahnya, terlihat emosinya seperti campur aduk.

“Sebelum kesini, tadi sempat ada yang menanyakan ini juga. Walaupun tempat tinggal saya berjarak 1,5 jam kesana, setiap membahas Rempang, saya jadi emosional,” jawabnya.

Sebelum menjelaskan apa yang terjadi disana, bapak ini menjelaskan sejarah suku Melayu yang ada di Kepulauan Riau, yang kemudian tersebar di Riau, Palembang hingga Kalimantan, lengkap dengan kisah Kerajaan Melaka hingga Kerajaan Lingga.

Bisa dikatakan, Kampung Tua yang ada di Kepulauan Riau adalah pusat peradaban, asal-usul dari suku bangsa Melayu. Ia bercerita salah satu suku Melayu tua (Proto-Melayu), seperti Orang Laut berasal dari Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Berdasarkan pengalaman hidupnya, orang Laut ini sangat dihormati oleh warga setempat. Banyak larangan ketika melewati permukiman mereka. Dari kapal yang harus mengurangi kecepatan ketika melintas, tidak boleh menatap, hingga meludah di depan Orang Laut.

“Banyak dari mereka masih hidup di sampan-sampan, menangkap ikan yang kemudian ditukarkan dengan beras atau uang ke daratan. Biasanya yang ke darat hanya boleh laki-laki saja, mereka hanya menggunakan kain untuk menutup (kemaluan),” tuturnya.

Orang Laut dipercaya memiliki keistimewaan tersendiri sehingga mereka begitu disegani. Walaupun hidup di sampan atau perahu kecil, sekalipun terjadi badai di laut, kediaman mereka selalu tenang dan aman, begitu saktinya Orang Laut.

Melihat persebaran dan sejarah suku Melayu, saya semakin memahami bagaimana orang Melayu dan orang yang bukan Melayu ikut tersulut emosinya terkait kasus Rempang, ada kisah persahabatan, solidaritas, hingga diplomasi yang hebat antar suku Melayu dan suku lainnya dalam sejarah.

Menurut penuturan beliau, kekacauan yang lebih besar sangat mungkin terjadi jika proyek ini tetap dilanjutkan, sehingga untuk saat ini pemerintah terkesan menarik diri. Ia berpendapat apa yang ditampilkan di media tidak begitu terang-benderang karena ada yang masih ditutupi.

“Jika ditelisik, investor yang dimaksud tidak hanya orang dari China, ada nama-nama orang lokal juga terlibat, Rempang sudah lama diincar,” jelasnya. Lantas saya bertanya, apa benar hanya ada pasir kuarsa disana. “Saya tidak tahu persis, yang pasti ada yang jauh lebih berharga disana dan masih dijaga oleh masyarakat adat. Mereka berani mati untuk mempertahankannya,” tutupnya.

Setelah berbincang dengan beliau, yang tergambar di benak saya Pulau Rempang ini adalah “rumahnya” orang Melayu. Dalam bahasa Inggris, rumah mengacu pada dua kata dengan makna yang berbeda, yakni ‘house’ dan ‘home’.

‘House’ diartikan sebagai bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal, sedangkan ‘home’ memiliki makna yang abstrak. ‘Home’ tidak hanya berupa bangunan rumah, bisa saja mengacu pada sebuah tempat yang tidak selalu dapat dilihat dengan kasat mata. ‘Home’ adalah tempat yang memiliki ikatan emosional bagi pemiliknya.

Bahkan ada pepatah yang berbunyi, “Home is not a place, it’s a feeling”, dimana digambarkan sebuah rumah bukan hanya seonggok bangunan, bisa juga berupa suatu ekspresi akan sebuah perasaan atau ungkapan dari emosi.

Bagaimana jika rumah dari sekelompok masyarakat adat yang sudah ratusan tahun bermukim “dirempas” begitu saja? Tentu ini bukan sesuatu yang menyenangkan dan melukai perasaan banyak orang, termasuk saya.
***