Gregoria Mariska Tunjung menjadi runner up di Malaysia Master, pekan lalu. Gambar dari www.tvonenews.com
PADA 1 (satu) bulan ini berturut-turut dalam hitungan pekan, kita disuguhi pertandingan bulutangkis tingkat regional/ kawasan, dan global atau dunia. Dari mulai Sea Games di kota Phnom Penh, Kamboja, kemudian Sudirman Cup di Suzhou, dan berikutnya Malaysia Master.
Dari ketiganya bisa kita tarik beberapa benang merah -terkait pemain kita dan pemain lawan dari negara lainnya.
Christian Adinata merupakan pemain pelatnas tecermerlang di awal tahun ini. Christian “Nata” Adinata sedikit menenggelamkan prestasi seniornya, Chico Aura Dwi Wardoyo. Chico sebenarnya cukup bagus di SG karena mampu mengalahkan Loh Kean Yew. Namun di partai final beregu, Chico kalah dengan Leong Jun Hao -yang lebih muda, dan peringkat jauh di bawah.
Chico juga berhasil menciptakan All Indonesian final, hanya kalah tipis dari yuniornya -Adinata yang asli Pati ini. Di Malaysia Master, Chico kalah babak pertama melawan Lin Chun Yi asal China Taipei. Penampilan Lin Chun Yi memang mengesankan di Malaysia Master ini. Mampu sampai ke semifinal, dengan menyingkirkan andalan tuan rumah -Lee Zi Jia. Serta melalui pertarungan sangat impresif ketika menyingkirkan Kodai Naraoka.
Penampilan tim Indonesia di Sea Games (SG) 2023 bisa dibilang mengesankan. Dengan hanya mengirim para pemain kelas dua, kita mampu meraih 5 (lima) emas di beregu putra, ganda putra, tunggal putra, dan ganda putri serta ganda campuran. Lebih bagus dibandingkan Sea Games 2021 di Vietnam yang hanya meraih emas di dua nomor (ganda putra dan ganda putri). Hanya sedikit “nilai setitik” yaitu kalahnya pasangan Bagas/ Fikri dari pasangan bukan-bukan asal Thailand, pada partai semifinal. Untungnya di partai final Pramudya/ Yeremia bisa meraih emas. Bagi Pramudya/ Yeremia, prestasi ini meningkat dibanding perak pada SG sebelumnya.
Bagaimana penampilan tim Indonesia di ajang Sudirman Cup? Sama seperti Sudirman 2021 lalu, hanya sampai perempat final. Hanya bedanya, di tahun 2021 kita sempat menjadi juara grup, tahun ini hanya runner up grup -kalah melawan Thailand. Kalau di Sudirman Cup 2021 kita kalah melawan Malaysia, tahun ini kita kalah melawan Thailand -yang notabene sama sama negara Asia Tenggara. Kekalahan dengan Malaysia (2021) dan Thailand (2023) menandaskan satu sektor yang selalu lemah, yaitu ganda campuran. Selepas Tontowi/ Lilyana dan Praveen Jordan/ Debby Susanto (tahun 2021 Praveen berpasangan dengan Melati Daeva) belum ada pasangan XD yang tergolong jagoan di tim Sudirman kita.
Kekalahan dengan Thailand sedikit menyesakkan karena kita bisa menang di 2 (dua) partai yaitu ganda putra dan ganda putri. Itupun dipasang pada partai keempat dan kelima. Partai pertama memang “jatah” Thailand melalui Descaphol/ Sapsiree. Partai kedua Kunlavut Vitidsarn memang sedang pada peak performance, tidak pernah kalah di Sudirman Cup. Tidak hanya Jonathan Christie, juga Kodai Naraoka dan bahkan pemain nomor satu dunia (yaitu Victor Axelsen dari Denmark) telah merasakan hebatnya sabetan raket Kodai. Patut diwaspadai Kunlavut untuk Olimpiade 2024 menjadi pesaing kuat bagi siapa saja pemain tunggal putra dunia.
Partai ketiga memasang Putri Kusuma Wardani. Meski sempat rubber set, melawan Pornpawee Chocuwong, tapi lawan lebih kuat secara fisik. PBSI tidak memasang Gregoria barangkali karena telah 2 (dua) kali bermain berturutan sebelumnya -yaitu saat melawan Jerman dan Kanada. Mungkin misalnya ketika melawan Jerman si Gregoria disimpan, lalu saat versus Thailand dimainkan lagi, bisa jadi hasilnya berbeda. Namun memang itu kita berandaiandai: seandainya.
Di semifinal, Indonesia melawan Tiongkok. Nyaris saja pasangan dadakan Rinov Rivaldi/ Gloria Emanuell Widjaja mampu mengimbangu kedigdayaan monster Zheng Siwei/ Huang Yaqiong. Padahal set pertama sudah didapat, set kedua unggul 19-14. Namun pasangan nomor satu dunia itu tetaplah sebagai pemenang.
Sebenarnya langkah PBSI kemarin termasuk out of the box, dengan memasangkan Rinov dan Gloria, sayang kurang total. Masih ingat kala tahun 2013, kita mampu unggul 2-0 atas Tiongkok (sebelum akhirnya kalah 2-3)? Saat itu pelatih kepala adalah Rexy Mainaky, dia memainkan Lilyana Natsir di ganda campuran dan ganda putri. Dengan memainkan satu oemain rangkap, maka urutan pemain ditentukan oleh yang rangkap. Lilyana main pertama di ganda campuran, kemudian partai terakhir atau kelima di ganda putri. Nyaris saja kita mengalahkan Tiongkok saat itu.
Sepertinya PBSI kurang serius mempersiapkan tim untuk Sudirman Cup kemarin. Penunjukkan Dejan/ Gloria baru terjadi menjelang keberangkatan, atau pemain terakhir yang dipanggil oleh Reoni Cs. Selain itu, mengapa masih mengikutsertakan the minnions? PBSI tidak memaksimalkan potensi untuk memanggil 20 pemain, dengan mengalokasikan pada sektor yang dipandang lemah. Ganda putri hanya memanggil 4 (empat) orang, artinya 2 (dua) pasangan, yakni Apriyani/ Siti Fadia dan RibkaSugiarto/ lanny Tria Mayasari. Tunggal putra dan tunggal putri masing-masing 2 (dua) orang, kemudian kekuatan utama kita di ganda putra malahan memanggil 6 (enam) pemain.
Khusus untuk ganda campuran memang di titik lemah, sehingga pantas untuk memanggil 3 pasangan (atau 6 pemain). Namun ganda putra yang semestinya cukup diwakili Fajar/ Rian sebagai pemain ranking wahid dunia dan Leo/ Rolly, tidak perlu menambah pemain lagi. Atau bisa saja 1 (satu) pemain dengan harapan bisa bermain fleksible, layaknya pasangan dadakan Kevin dan Ahsan saat kejuaraan Thomas Cup setahun yang lalu.
Kemungkinan terakhir untuk Sudirman Cup ini, agar bisa tergayuh, mau tidak mau PBSI harus mencoba menawarkan diri menjadi tuan rumah. Memang ada satu kendala, yaitu mahalnya penyelenggaraan kejuaraan dunia beregu. Infor yang ebredar, Sudirman Cup lebih mahal dibanding Thomas/ Uber Cup. Kerjasama dengan pemerintah (melalui APBN) dan konsorsium swasta menjadi hal yang harus dilakukan.
Meski Sudirman lagi lagi belum terayuh (sejak 1989, atau 34 tahun lalu), namun penggemar olahraga sedikit terhibur dengan penantian 32 tahun emas sepakbola Sea Games. Meski ada bedanya antara bulutangkis dan bola sepak, namun semesta masih sama: olahraga. apalagi membawa nama Indonesia, dan mendengarkan lantunan Indonesia Raya berkumandang.
Hiburan terakhir, sepertinya (atau seingat saya) mendiang MF Siregar sebagai teknokrat olahraga kita dulu pernah mengatakan. Meski sering kalah (maksimal runner up) dalam ajang Sudirman, tapi kita harus tetap gembira. Bahwasanya negara lain begitu serius mempersiapkan timnya untuk ajang Sudirman Cup. Sebuah nama kejuaraan yang pasti mengingatkan orang akan tokoh bulutangkis dari Indonesia, bapak “Dick” Sudirman. Kemampuan diplomasi yang tinggi dari delegasi kita sebelum tahun 1989 pantas untuk diacnungi jempol.
Akhirnya ya kita hanya mampu sebatas bertanya, kapan lagi Sudirman Cup kembali ke bumi pertiwi.
Artikel ini ditulis oleh Yuni Andono Achmad, S.E., M.E., staf pengajar di PTS di Jakarta dan di Depok.