Antara AFF dan World Cup FIFA

oleh Yuniandono Achmad. Gambar: Jordi Amat Maas pemain bola kelahiran Canet de Mar, Spanyol, namun garis nenek yang merupakan keturunan dari Siau, Sulawesi Selatan. Jordi Amat resmi menyandang status WNI pada bulan November 2022. Sumber gambar: www.cnnindonesia.com/olahraga/20221225135209

PEKAN ini kita disuguhi kompetisi sepakbola kejuaraan AFF (Asean Football Federation). Setelah seminggu sebelumnya berlangsung final World Cup FIFA atau Pildun (piala dunia). Penonton yang melihat di televisi -secara kasat mata- akan melihat perbedaaan antara kedua ajang tersebut. Dari semula layar TV kelihatan penuh pemain di lapangannya (event piala dunia), menjadi lebih lapang di turnamen AFF ini. Ya karena pemain Asia Tenggara kecil-kecil. Sehingga melihat permainan di AFF ini lapangan menjadi lebih luas -dibandingkan pildun.

Di piala dunia kemarin, rata-rata terpendek pemain adalah kesebelasan Meksiko dengan 178,8 cm. Mendekati 180 senti, dan itu sudah merupakan rata-rata yang paling pendek. Sedangkan negara Asia Tenggara, misal Thailand, rata-rata pemainnya adalah 176 cm. Vietnam dan Indonesia rata-rata tinggi pemain sama, yaitu 175 cm (dari hasil googling dengan kata kunci “player height in AFC Asian Cup“).

Masih di pildun yang baru lalu, negara dengan rata-rata postur badan tertinggi adalah Serbia, mencapai 187,1 cm. Sang runner up Perancis menjadi nomor 3 (tiga) tertinggi dengan 185,4 cm. sedangkan sang juara Argentina masuk 5 (lima) terpendek dengan rata-rata 179, 8 senti meter.

Yang dimaksud rata-rata di sini adalah rata-rata tinggi dari ke-26 pemain. Artinya 11 pemain tidak cukup untuk bisa bertahan dengan baik -maksudnya dengan mempertahankan penampilan sampai partai terakhir. Kita butuh 26 pemain, termasuk cadangan.

Ini untuk meluruskan pernyataan selama ini bahwa, “Penduduk kita 250 juta kok susah membentuk kesebelasan bola yang handal”. Ternyata memang tidak “hanya” 11, tapi 26 pemain yang yahud, yang apik, yang prima -yang diperlukan untuk membuat tim andalan.

Dari Argentina, dari Perancis ataupun dari Maroko -kita bisa belajar cara mereka bisa lolos ke putaran semifinal atau bahkan final piala dunia. Walaupun dari ke-32 negara lainnya, peserta pildun Qatar 2022 ini, sebenarnya bisa juga kita petik pelajaran -namun akan kita fokuskan pada ketiga negara tersebut.

Pertama Maroko. Timnas Maroko di pildun 2022 ini adalah negara yang terbanyak pemain “diaspora”-nya. Lahir tidak di Maroko, namun memang ada darah atau keturunan Maroko. Sebanyak 50 persen lebih, tepatnya 14 dari 26 pemain, merupakan pemain yang bukan lahir di maroko.

Bahkan dari ke-14 pemain itu, 4 (empat) orang pernah membela tim yunior negara Eropa. Langkah ini tentunya mengundang kritik negara lain. Misalnya Ruud Gullit -legenda Belanda di piala Eropa 1988- yang menyarankan agar KNVB Belanda jangan lagi mendukung (support) para imigran dari Maroko.

Logika Gullit sederhana. Para imigran tersebut lahir di Belanda, kemudian besar dan bersekolah di Belanda. Imigran yang terampil kemudian masuk sekolah bola KNVB (semacam PSSI-nya Belanda), saat yunior masuk tim nasional Belanda. Ketika sudah senior malah pindah membela Maroko. Nanti sehabis itu balik ke Belanda lagi -untuk membela klub professional.

Demikian pula yang dialami oleh Belgia -karena setidaknya ada 2 (dua) pemain Maroko yang pernah membela timnas Belgia saat yunior.

Langkah Maroko ini mungkin bisa disamakan dengan naturalisasi. Dulu negara tetangga kita, Singapore, pernah melakukan hal tersebut. Sampai sekarang pun naturalisasi pemain (terutama tenis meja dari Tiongkok) masih berlangsung di olahraga Singapura. Namun pernah tahun 2004 -bisa jadi dua atau tiga tahun sebelum itu- negara Singapura menaturalisasi sampai 9 (sembilan) pemain untuk menjadi pemain timnasnya. Kala itu Singapura menjadi tim yang tergolong ampuh -terbukti tahun 2004 meraih piala Tiger (yang sekarang bernama AFF Cup). Singapura juga sampai mampu menahan tim kuat Tiongkok di kejuaraan pra piala Asia.

Kalau mau pragmatis maka langkah Maroko dan/ atau Singapura ini bisa ditiru. Menaturalisasi pemain sampai 17 pemain seperti yang dilakukan Maroko. Atau 9 (sembilan) dalam sebuah kesebelasan seperti Singapura,

Untuk AFF bulan Desember ini, negara Asia Tenggara yang paling banyak menaturalisasi pemain adalah Filipina dengan 12 pemain, kemudian Malaysia dengan 6 (enam) pemain. Di laman SEA Today News, Indonesia tercatat mengikutsertakan 3 (tiga) pemain naturalisasi. Mereka adalah Marc Klok, Ilija Spasojevic, dan Jordi Amat. Walaupun lebih dari 3 (tiga) sebenarnya. Ada beberapa pemain naturalisasi kita yang tidak ikut bermain di ajang AFF ini, misalnya karena alasan tidak diijinkan klub, atau ada juga yang baru mengurus dokumen kepindahan kewarganegaraan.

Sesudah Maroko, kita bisa juga menyontoh Perancis. Pertandingan semifinal Pildun 2022 yang mempertemukan Maroko melawan Perancis adalah pertandingan antara “tim diaspora versus tim imigran”. Beberapa pemain Perancis adalah imigran, walaupun lahir di Perancis. Timnas Perancis dengan timnas Swiss memiliki setidaknya 10 persen pemain asing (lahir tidak di negaranya).

Pemain Perancis yang memiliki keturunan imigran adalah Mbappe (orang tua Kamerun dan Aljazair), Dembele (Mali), Tchouameni (Kamerun), Benzema (Aljazair), Kounde (Benin), Upamecano (Guinea), Varane (Martinica). Beredar viral pernyataan ayahanda Mbappe bahwa semula dia akan masukkan anaknya ke pemusatan latihan PSSInya Kamerun. Tapi ternyata di sana ada semacam pungutan -atau pungli. Ayah Mbappe lalu menghubungi timnas Perancis. Ternyata gratis. Maka si Mbappe muda (tahun 2017) dimasukkan ke pelatnas Perancis.

Berikutnya ada hubungan dengan wawancara presiden Gus Dur dan moderator Jaya Suprana, ada di youtube dengan judul “mati ketawa ala Gus Dur”. Pada wawancara tersebut GD mengeluhkan pernyataan Menlu Australia (sepertinya Alexander Downer) yang mengatakan bahwa Indonesia itu tempat transit para pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika, sebelum mereka mengakhiri tujuan di Australia.

Di Pildun 2022 ini komposisi timnas Socceroos (julukan sepakbola Aussie) lebih dari 30 persen adalah pemain keturunan, tidak lahir di Australia. Andaikan saja para imigran itu memilih tinggal di Indonesia, artinya tidak hanya transit di sini, namun menetap. Kemudian bisa dibina menjadi pemain bola yang baik, tentunya bermanfaat bagi persepakbolaan kita -layaknya Perancis dan/ atau Australia di atas.

Selain Maroko dan Perancis, kita bisa juga mencontoh Argentina. Timnas Argentina (bersama Brazil, Arab, Korea) seratus persen pemain dalam negeri -bukan lahir di luar negaranya dan bukan keturunan. Para pemain Argentina ini memiliki tinggi badan yang relatif pendek (dibandingkan 32 negara peserta pildun kali ini). Sependek-pendeknya pemain Argentina on average adalah 178,8 senti, mendekati 180 cm.

Kemudian dari komposisi umur. Tim Argentina termasuk tua, karena rata-rata pemainnya adalah 27,5 tahun. Di final Argentina melawan pemain-pemain yang lebih muda, karena Perancis rata-rata usianya 26, 5 tahun. Senioritas (secara rata-rata) dari tim Argentina hanya lebih muda dari para pemain Iran yang 29 tahun, dan Meksiko 28,5 tahun.

Contoh dari Maroko dan Perancis serta Argentina di atas bisa menjadi alternatif untuk kita tiru. Sebagai program jangka pendek misalnya pengen segera tampil di world cup. Maka cari itu diaspora, atau fasilitasi para imigran, dan buka keran naturalisasi secara besar- besaran.

Masih ada cara yang lainnya lagi. Yaitu dengan mempergunakan kerjasama antara sesama negara tetangga. Seperti piala Asia tahun 2007 lalu, yang melibatkan 4 (empat) negara tuan rumah -yakni Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Atau mungkin World Cup FIFA taun 2026 nanti yang melibatkan 3 (tiga) negara tuan rumah -yaitu USA, Meksiko dan Kanada. Misalkan semakin mantab kita punya ibukota nusantara di Kalimantan, maka kita bisa saja mengajak Malaysia (Sabah serta Serawak) dan Brunei (Bandar Seri Begawan) untuk menjadi tuan rumah bersama. Jargonnya adalah pulau Borneo sebagai tuan rumah piala dunia. Mumpung keketuaan ASEAN dipegang RI untuk setahun ke depan, hal itu bisa menjadi salah satu wacana pembahasan.

                  Yuniandono Achmad, S.E., M.E., penulis kolom OPiNi ini, adalah staf pengajar di sebuah PTS di jalan Margonda, kota Depok. Tinggal di kabupaten Bogor. Saat ini masih menjadi konsultan di beberapa K/L di Jakarta.