Senin, Desember 15, 2025
BerandaIndeksGlory, Glory, Gloria!

Glory, Glory, Gloria!

Gambar: Pasangan Gloria Emanuelle Widjaja dan Dejan Ferdinansyah. Foto dari dok.PBSI dan dari laman sport[dot]tempo. Artikel ini ditulis oleh Yuniandono Achmad, seorang pengamat bulutangkis dari Bogor.

SETELAH stadion Kanjuruhan di kabupaten Malang (tanggal 01 Oktober 2022) menjadi tuan rumah laga Arema versus Persebaya, gantian kota Malang menjadi tuan rumah bulutangkis ajang Indonesia International Challenge (IIC) 2022. Sejak hari Rabu sampai Minggu, yang bertempat di GOR Platinum Araya Malang. Hari Minggu Kliwon 16/10/22 -bertepatan hari Ahad, 20 Rabiul Awal 1444 H, menahbiskan tim Indonesia menjadi juara umum di negeri sendiri dengan 3 (tiga) gelar juara. Disusul oleh Tiongkok dengan 2 (dua) gelar juara melalui tunggal putra dan tunggal putri.

Ketiga gelar untuk tim Indonesia dihasilkan oleh para wakil di sektor ganda campuran, ganda putri, dan ganda putra. Melalui pasangan XD Dejan Ferdinansyah/Gloria Emanuelle Widjaja, kemudian WD Lanny Tria Mayasari/ Ribka Sugiarto, dan MD Rahmat Hidayat/Pramudya Kusumawardana.

Bagi pasangan non pelatnas, Dejan/ Gloria, pencapaian kali ini merupakan yang keempat kalinya berturut turut menjadi kampiun. Setelah juara di Denmark Masters, Indonesia International Series, dan Vietnam Open 2022. Meski level turnamen kelas 2 dan/ atau 3 (bukan utama atau super) namun kemenangan ini layak mereka rayakan. Gloria sebelumnya adalah pemain pelatnas, berpasangan dengan Hafizh, dan sempat nangkring di peringkat 11 dunia.

Pada awal tahun, keduanya (Hafidz/ Gloria), dan pasangan 10 besar dunia dari Indonesia -yakni Praveen Jordan/ Melati Daeva Oktavianti- didegradasi dari Pelatnas Cipayung. Melati juga berganti pasangan (karena Preveen masih dirundung cedera), dan sempat menjadi runner up dalam rangkaian Indonesia challenge ini. Tepatnya di Gor Amongrogo Yogyakarta tempat berlangsungnya Indonesia International Series 2022 akhir September baru lalu. Pasangan Moh Reza Pahlevi Isfahani/Melati Daeva Oktavianti dikalahkan Dejan/ Glory dengan sangat ketat, rubber game, dan terjadi deuce di set ketiganya.

Tentunya menjadi pertanyaan mengapa Gloria malah bisa mencapai “glory-glory” (meminjam slogan khas dari klub MU Inggris) padahal keluar dari pelatnas. Analisa sementara setidaknya ada 5 (lima) penyebab yang masih menjadi hipotesis tulisan ini.

Pertama, ia telah menemukan pasangan yang lebih cocok. Walaupun masih bersifat nisbi, karena siapa tahu adagium “hangat hangat tahi ayam” bisa saja terjadi. Kemungkinan lain, bisa saja Glory sudah bosan atau menthok dengan pasangan lama. Padahal probabilitas kebosanan bisa jadi juga muncul pada pasangan barunya kali ini. Seiring dengan berjalannya turnamen ke turnamen maka perihal tersebut akan terjawab.

Kedua, mereka hanya mampu bersaing di level yang lebih rendah. Walaupun musti disadari bahwa sebagai pasangan baru memang harus merangkak dari turnamen tingkat satelit terlebih dahulu. Kita berharap tahun depan -yang artinya hanya dalam hitungan tiga atau empat bulan- pasangan Dejan /Gloria akan menjajaki turnamen yang lebih besar.

Ketiga, kondisi pelatnas tidak begitu kondusif. Bisa menyangkut lingkungan, atau pelatih. Artinya ketika kembali ke klub Djarum, barangkali balik ke pelatih lamanya yaitu Richard Mainaky -si Gloria merasa comfort atau lebih nyaman. Tentunya para pemain masing-masing memiliki karakteristik soal cocok/ tidak perihal ini. Seperti dulu sang Olympian Taufik Hidayat, di tahun 2003, berusaha keluar dari pelatnas untuk memilih berlatih di Singapura -karena ada Muljo Handojo di sana. Ketua Umum PBSI saat itu -mr CT atau Chairul Tanjung- memilih untuk mengalah dan akhirnya menarik Muljo agar melatih Taufik di Cipayung.

Keempat, kondisi suasana batin si pemain atau mental dan spiritualnya. Bisa jadi ketika posisi pemain/ pasangan baru, Gloria lebih bisa bebas karena tidak menyandang predikat pemain 11 besar dunia -seperti yang dialaminya dengan Hafidz dulu. Disinilah peran pelatih menjadi sentral untuk mempertahankan mood pemain agar tetap kondisi fight dan stabil. Atau seandainya suatu saat kalah -atau malah jatuh- mampu membangkitkannya kembali.

Kelima, ini agak sedikit teoritikal. Apakah Gloria memang tipikal pemain X -mengutip analogi teori XY dari Douglas McGregor. Dalam ilmu manajemen dikenal salah satu teori motivasi adalah “Teori XY” dari Douglas McGregor. Teori X dan Y membedakan dua tipe manusia (pekerja) menjadi tipe X yang buruk dan tipe Y yang baik. Tipe Y perlu dimotivasi dengan insentif dan promosi. Sebaliknya tipe X dengan punishment atau hukuman.

Belajar dari masa lalu, terdapat beberapa pemain yang memang harus diterapi dengan keras agar bisa juara lagi. Tahun 2014 kita kenal Simon Santoso yang dikeluarkan dari pelatnas karena lebih banyak cedera. Namun ketika keluar pelatnas, malah meraih gelar di Malaysia dan Singapura pada bulan Maret 2014. Simon kemudian dipanggil lagi untuk memperkuat Tim Thomas pada tahun yang sama. Peraih emas olimpiade 1992, Alan Budi Kusuma, juga pernah mengalami hal sama.

Alan BK, sang peraih medali emas Olimpiade tahun 1992 (Barcelona) pernah dicibir masyarakat Indonesia karena kalah melawan Foo Kok Keong. Pada partai tunggal kedua Thomas Cup 1992 partai final melawan Malaysia, Alan melawan Foo Kok Keong yang peringkatnya jauh di bawahnya. Sesudah kekalahan itu, di bawah pelatihan Rudi Hartono dan Indra Gunawan, si Alan di-push agar berlatih mulai paling awal dan selesai paling akhir dari kawan-kawannya. Metode kepelatihan yang menyiksa tersebut membuahkan hasil di gelanggang Olimpiade beberapa bulan sesudahnya.

Namun ada juga pemain yang salah diterapi, dianggap Tipe X ternyata Tipe Y, atau malah sebaliknya: dianggap Tipe Y namun memiliki Tipe X.

Misalnya dulu ada pemain bernama Ronny Agustinus, pemain era antara Heryanto Arbi (akhir) sampai Taufik Hidayat (awal). Kelihatannya PBSI salah memilih kriteria pemain saat itu. Ronny Agustinus “dikira” tipe Y sehingga dilatih khusus oleh Rudy Hartono, namun ternyata sampai periode Pelatnas berakhir tidak menjadi pemain utama. Salah satu prestasi Rony Agustinus adalah finalis Kejuaraan Asia tahun 2000 namun kalah melawan Taufik.

Seandainya memang Gloria memiliki tipikal X, maka kondisi ketidaknyamanan (karena berada di luar pelatnas, assume kondisi di pelatnas jauh lebih baik) akan terus memacu dia berprestasi. Walaupun tidak menutup kemungkinan untuk dipanggil kembali dalam rangka menghuni pelatnas.

Semoga analisis 1-5 terkait prestasi Gloria diatas bukan menjadi spekulasi belaka. Seandainya salah, dapat menjadi pembelajaran kala nanti menghadapi pemain dengan tipe yang sama.

Khusus untuk Gloria (dan juga Melati Daeva) memilih spesialisasi ganda campuran (XD= mixed double) merupakan pilihan yang pasti ada konsekuensinya. Berkarier sebagai pemain putri di ganda campuran memang musti memiliki keahlian khusus. Ia harus jago defends (bertahan) terutama dari smes lawan pemain putra -yang sering diarahkan ke pemain wanita. Pemain putri di XD ketrampilannya juga kudu ditambah, ia harus jago bermain net -karena kebanyakan atau hampir semua pemain putri di XD menempati posisi depan.

Mungkin hanya Sapsiree “Popor” Taerattanachai dari Thailand dan Arisa Higashino yang sesekali bermain di bagian belakang -mem back up pasangannya. Itupun sangat jarang, hanya karena keduanya bisa melakukan smash lompat, sehingga posisi kadang ada di belakang Dechapol (Thailand) atau Yuta Watanabe (Jepang).

Kejayaan atau glorikasi Gloria ini bisa dianggap sebagai modal awal bagi PBSI. Minimal ada stock baru sebagai persiapan menghadapi piala Sudirman tahun depan.

Penulis adalah Yuni Andono Achmad, S.E., M.E., staf pengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, daerah Kelapa Dua, kota Depok Jawa Barat. Tinggal di kabupaten Bogor, dengan beberapa pekerjaan konsultansi bersama kementerian/ lembaga di Jakarta

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Berita Populer