Yuniandono Ahmad (penulis) pengamat olahraga tinggal di Bogor. Gambar atau foto Chico Aura Dwi Wardoyo putra Papua dari Kompas[dot]com dan dokumentasi PBSI, teksnya: Tunggal putra Indonesia Chico Aura Dwi Wardoyo meraih gelar juara Malaysia Masters 2022. Chico meraih titel juara usai dalam partai final yang berlangsung di Axiata Arena, Kuala Lumpur, Minggu (10/7), berhasil mengalahkan Ng Ka Long Angus dari Hong Kong dua gim langsung 22-20, 21-15.(Dok. PBSI)
PERHELATAN turnamen bulutangkis di Malaysia telah usai. Dari gelaran Malaysia Open dan Malaysia Masters banyak hal menggembirakan bagi prestasi bulutangkis Indonesia. Selain itu tuan rumah Malaysia juga mengajarkan banyak hal. Bisa kita ambil hikmahnya tentang sportifitas, nasionalisme dan kemanusiaan.
Turnamen Malaysia Open berlangsung 28-3 Juli 2022 dan Malaysia Masters 5-10 Juli 2022, keduanya di Axiata Center Kuala Lumpur. Prestasi Malaysia di bulutangkis memang tidak semoncer kita. Malaysia belum pernah mendapat emas olimpiade. Juara Thomas baru 5 (lima) kali, sementara kita sudah 14 kali. Kita pernah 3 (tiga) kali juara Uber, Malaysia belum pernah.
Namun ada beberapa hal diplomatis yang membuat Malaysia top dalam bulutangkis. Misalnya markas BWF (Badminton World Federation), bertempat di Kuala Lumpur. Kemudian tuan rumah untuk Thomas Uber Cup terbanyak adalah Kuala Lumpur (sejak 1984). Mungkin memang Malaysia baru di level tuan rumah yang baik, yang memang menyambut tamu dengan bagus.
Indonesia pun pernah merasakan hal tersebut. Sewaktu kejuaraan Thomas-Uber dihelat di Senayan tahun 1986, WBF (waktu itu masih Bernama IBF atau International Badminton Federation) menganugerahkan penyelenggaraan tuan rumah terbaik ke Indonesia. Gelar diterima oleh Ketua Umum PBSI yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Try Sutrisno. Seingat saya ada komentar pak Try ke wartawan, yang intinya pengandaian. Andaikan tuan rumah yang baik diiringi oleh prestasi yang baik juga. Saat itu tim Indonesia -baik putra maupun putri- kalah di final melawan China.
Kembali ke judul, apa yang perlu kita ucap terima kasih ke Malaysia, di bagian mananya.
Mereka adalah tuan rumah yang baik. Ini yang perlu kita contoh. Penonton yang berkunjung di Axiata Arena Kuala Lumpur memang mendukung ke pemain negaranya, dengan teriakan “yaaa” setiap pukulan dilesakkan. Tapi mereka tidak membuat semacam “boo” kepada tim lawan. Lalu bagaimana bila pemain pribumi Malaysia tidak tampil. Seperti misalnya saat final -baik Malaysia Open maupun Malaysia master- yang tidak ada pemain Malaysia bagaimana? Maka mereka mendukung sesama Asia Tenggara. Uniknya saat pemain Asia Tenggara tidak ada, misalnya partai tunggal putri Tiongkok versus Korea, penonton Malaysia memberi teriakan dukungan kepada Chen Yufei dari China. Berbeda ketika ganda putri, saat Tiongkok melawan Jepang, gantian pasangan asal “Jepun” (demikian Melayu bilang) yang didukung.
Sewaktu pertandingan final, partai ganda putra yang All Indonesian Final digelar di partai kelima atau terakhir. Penonton tetap penuh. Ini berbeda dengan Istora, biasanya yang partai sesama negara (di luar Indonesia) ditaruh di depan. Mungkin asumsi panitia (di Indonesia) agar penonton bisa tetap duduk di stadion dan mengikuti pertandingan sampai selesai. Tapi tidak dengan pertandingan Malaysia Master ini.

Foto: Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto menjuarai Malaysia Masters 2022. (Foto: dok. PBSI), via detiksport, “Hasil Malaysia Masters 2022: Kalahkan The Daddies, Fajar/Rian Juara!”
Selain itu Fajar/Rian banyak menyingkirkan pemain asal Malaysia sejak putaran 32 besar. Terakhir adalah Aaron/ Soh Woi Yik di semifinal. Namun tepukan tangan panjang tetap mengiringi keberhasilan Fajar Alfian/ Rian Ardianto menjadi juara, mengalahkan “the daddies” Hendra/ Ahsan.
Demikian pula yang terjadi pada Shesar Hiren Rusthavito di Malaysia Open kemarin. Shesar Hiren atau Vito ini mampu menyingkirkan andalan tuan rumah, Lee Jii Zia. Besuknya Vito menantang Kento Momota. Partai tidak sampai selesai karena Vito cedera dan didorong kursi roda keluar lapangan. Namun kita lihat betapa terharunya Vito karena penonton di Axiata Arena ini memberikan tepuk tangan panjang mengiringi perginya Vito dari stadion.
Atmosfer yang bagus sepertinya memberi nuansa prestasi kepada pemain kita. Indonesia bisa disebut menjadi juara umum di Malaysia Master karena mendapat 2 (dua) juara dan 2 (dua) runner up. Menyusul kemudian tim Tiongkok yang mendapat 2 (dua) juara dan 1 (satu) runner up. Selain Chico Aura Dwi Wardoyo dan pasangan Fajar/ Rian, pemain Indonesia yang meraih prestasi bagus di Malaysia setidaknya ada 4 (empat) pemain lagi.
Keempatnya adalah Gregoria Mariska Tunjung, pasangan Apriyani/ Siti Fadia, dan pasangan Rinov/ Pitha serta the Daddies. Gregoria MT atau Jorji membuktikan bisa masuk jajaran pemain top. Karena dari perempat final, semua pemain tunggal putri adalah masuk ranking 10 besar -kecuali Jorji. Ditambah kemenangan dua kali atas pemain nomor 1 (satu) dunia yaitu Akane Yamaguchi dari Jepang, maka tahun ini menjadi tahun terbaik bagi Jorji. Sang juara yaitu An Se Yong dari Korea mendapat perlawanan rubber game dari Jorji di semifinal. Partai melawan Jorji ini menjadi partai tersulit bagi An Se Young. Apalagi saat final, Chen Yufei mengalami antiklimaks, kalah straight game dan dengan skor di bawah 10.
Kita berharap bahwa Jorji mendapatkan titik balik menuju kesuksesan di tahun ini. Setidaknya ada 4 (empat) tahun Jorji tidak mampu menembus semifinal super series. Akhirnya kemarin di Malaysia, Jorji mengulang asa yang pernah diraih di semifinal Denmark Open tahun 2018.
Prestasi yang lebih spektakuler dilakoni oleh pasangan Rinov Rivaldo/ Pitha Haningtyas Mentari. Pasangan peringkat 20 besar yang mampu menembus babak final ganda campuran, sebelum dikalahkan oleh pasangan nomor 1 (satu) dunia Zhang Siwei/ Huang Yaqiong. Rinov Rivaldi ini seangkatan dengan Gregoria, masih berusia 22 tahun. Sedangkan Pitha Mentari lebih senior setahun.
Perjalanan masih panjang bagi pasangan Rinov/ Pitha ini. Terutama Rinov untuk kedepan harus mampu bergerak layaknya Tontowi Ahmad terhadap pasangannya -Lilyana Natsir. Suatu saat Park Joo Bong pernah ditanya wartawan apa hakikat dari permainan ganda campuran. Park menjawab, “Protecting the girl”. Jadi fungsi pemain pria adalah menjaga permainan teman atau pasangan putrinya dari serangan lawan, serta balik melancarkan attacking power ke musuh.
Berikutnya adalah “duo R” atau Rahayu Ramadhanti, yaitu pasangan Apriyani Rahayu/ Siti Fadia Ramadhanti. Baru dipasangkan 3 (tiga) bulan namun bisa menjadi juara di Malaysia Open. Sayang kemarin waktu Malaysia Master kalah melawan pasangan tuan rumah. Kekalahan ini baik bagi Apri/ Fadia, untuk menjadi evaluasi ke depan.
Sebenarnya waktu menjuarai Malaysia Open 2022, Apri/ Fadia termasuk beruntung karena menang tipis 21-19 di set ketiga, dalam tempo 1 jam 10 menit secara total. Namun hebatnya adalah pada partai sebelumnya, Apri/ Fadia mampu menyingkirkan sang monster dalam tunggal putri, ganda putri nomor wahid dari Tiongkok, yaitu Chen Qing Chen/Jia Yi Fan.
Pasangan Pearly Tan/ Thinaah Muralitharan yang mengalahkan Apri/ Fadia memang masuk jajaran 10 besar dunia. Namun melihat kekalahan Apri/ Fadia melawan mereka -terletak pada pertahanan yang lebih kuat. Pertahanan menjadi kunci kemenangan Tan/ Thina. Sementara Aapri/ Fadia ini memiliki tipe penyerang, dengan memancing lawan untuk adu drive, dan bermain bola cepat.
Selain itu ada beberapa perbaikan untuk pasangan kita ini. Yaitu etika santun terhadap pasangan lawan. Seperti misalnya ketika kita melakukan lucky blow atau lucky shot, yaitu bola (shuttlecock) bisa menggelincir di net dan masuk, maka kita sampaikan gesture maaf ke lawan. Atau bola yang kita pukul mengenai badan lawan, maka kita juga tunjukkan tangan permohonan maaf kita.
Pasangan kita perlu mencontoh Ratchanok Inthanon dari Thailand. Bahkan Intanon ini melakukan salam ala tangan Thailand sebagai ucapan terima kasih, juga ditujukan kepada petugas pengelap lapangan. Sebuah sikap yang positif sekali. Sekali lagi ini persoalan attitude. Bagaimana berempati kepada lawan. Tidak hanya persoalan fisik dan teknik semata namun juga empati dan perilaku baik.
Sedangkan the Daddies meski kalah, namun membuktikan bahwa setiap tahun selalu ada momen mereka masuk final. Terutama bagi Hendra Setiawan, turnamen series 500 ini semakin mengukuhkan keberhasilan sebagai individu (dalam bermain ganda putra) yang selalu masuk final turnamen bulutangkis, sejak tahun 2002. Artinya selama dua puluh tahun Hendra Setiawan bermain profesional, dirinya selalu masuk ke final tiap tahunnya. Memang tidak selalu juara. Namun koleksi Hendra tergolong lengkap. Juara All England (dengan Markis Kido), juara Olimpiade (juga dengan Kido), juara Asian Games (dengan Kido dan juga dengan Ahsan).
Pelajaran berikutnya soal sponshorship. Turnamen yang berakhir 10 Juli ini -bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1443 H- memakai nama “Perodua Malaysia masters” berhadiah total 360 ribu US dolar. Perodua merupakan akronim dari: perusahaan otomobil kedua. Mengapa kedua? Karena yang pertama adalah Proton. Atau: Perusahaan Otomobil Nasional.
Kalau proton adalah partnernya dengan Mitsubishi, sedangkan Perodua kerjasama dengan Daihatsu. Perodua mempunyai niat untuk menguasai pasar otomotif Asia Tenggara, maka turnamen ini menjadi titik tolak niatan mereka itu. Malaysia dalam hal ini selangkah maju, mereka memakai olahraga layaknya industri besar dan pintu menuju pasar raksasa: supply demand antara pemain dan penonton dunia.
Membaca sejarah Perodua dan proton menjadi menarik untuk membandingkannya dengan Indonesia, terutama ketika krisis moneter 1998. Indonesia di era Orde Baru dulu mengandalkan sektor industri dirgantara, sedangkan Malaysia industri otomotif. Lalu karena krismon 98, Indonesia masuk skema IMF, dan rekomendasinya adalah penutupan IPTN Bandung. Malaysia hampir masuk skema IMF, sehingga proyek-proyek monumentalnya tetap bisa jalan. Proton yang membeli lisensi mobil Mitsubishi Lancer pernah dikabarkan gagal di pasar Amerika Serikat tahun 1985. Namun mobil Proton produksi tetap jalan terus, dan mendekati tahun 1997 muncul kerjasama Daihatsu dengan Perodua ini. Sampai sekarang masih eksis. Hal itu membuktikan konsistensi kebijakan pemerintahan mereka, meski pemimpin telah berganti-ganti.
Sekali lagi banyak pelajaran yang bisa kita petik hikmahnya dari 2 (dua) turnamen bulutangkis di Malaysia ini. Terima kasih Malaysia, terima kasih pecinta bulutangkis negeri jiran. Terima kasih juga buat pemain-pemain PBSI yang mempersembahkan 3 (tiga) gelar juara dan 3 (tiga) runner up.
Yuni Andono Achmad, S.E., M.E., adalah akademisi di Gunadarma University, jalan Margonda, Depok. Mendapatkan gelar S1 dari Fakultas Ekonomi UGM, dan S2 dari Magister Perencanaan Kebijakan Publik FE Universitas Indonesia.


