oleh: Yuni Andono Achmad, S.E., M.E. Gambar Chico Aura Dwi Wardoyo dari https://www.indosport.com/raket/20220429/tembus-semifinal-chico-aura-akhiri-penderitaan-14-tahun-tunggal-putra-indonesia-di-bac
SUDAH hampir sepekan ajang Badminton Asia Championship atau Kejuaraan Asia bergulir. Negara Filipina kali ini menjadi tuan rumah dengan mengambil lokasi di Muntinlupa Sports Complex, kota Manila. Dari tayangan streaming yang ada, misal kita buka youtube, tampak animo yang tinggi dari warga Filipina yang memenuhi stadion tersebut.
Salah satu bintang turnamen tersebut adalah pemain kita berusia 23 tahun, dialah Chico Aura Dwi Wardoyo. Chico mampu mengalahkan unggulan pertama Kento Momota dari Jepang, kemudian Lee Cheuk Yi dari Hongkong, dan Li Shi Feng asal Tiongkok. Mereka semua adalah pemain raksasa Asia. Dan Chico mampu menjegalnya.
Kento Momota tentunya tidak perlu diragukan lagi. Pemain nomor dua dunia saat ini. Chico menewaskan permainan Kento dengan rubber set, yang uniknya pada set ketiga mempergunakan “skor afrika” yaitu 21-7. Artinya stamina Kento telah dikuras habis oleh Chico.
Sejak Olimpiade Tokyo tahun kemarin, Kento mengalami penurunan performa. Uniknya penurunan prestasi ini diikuti juga oleh Antony Sinisuka Ginting, musuh bebuyutannya. Sejak 2018 partai yang mempertemukan Ginting versus Momota disebut “Momogi” oleh netizens. Momota melawan Ginting, dipastikan ramai dan biasanya rubber set. Namun keduanya mengalami penurunan. Ginting masih beruntung bisa mendapatkan perunggu olimpiade Tokyo, namun Momota tersingkir di penyisihan grup.
Pada partai di putaran kedua, Chico menyingkirkan Lee Cheuk Yiu. Lee Cheuk Yiu adalah seorang pemain bulutangkis nomor satunya negara Hong Kong. Lee telah mencapai final Hong Kong Terbuka 2019, setelah menang di perempat dan semifinal melawan si juara dunia Viktor Axelsen dari Denmark. Beberapa kali Lee menyulitkan Antony Ginting, dan bahkan mengalahkannya di partai final. Dengan kemenangan atas Lee ini, semakin menahbiskan keunggulan Chico atas pemain Hong Kong tersebut, setelah keduanya bertemu di BATC di Malaysia tiga bulanan yang lalu.
Berikutnya, Chico menghempaskan Li Shi Feng, yang dari usia sebenarnya di bawah Chico 2 (dua) tahun. Li Shi Feng merupakan tunggal kedua Tiongkok di perebutan Thomas Cup tahun 2021 lalu. Di final Thomas kemarin, seorang Jojo pun kesulitan mengalahkan Li Shi Feng ini, sehingga pertandingan harus rubber set.
Chico terhenti di semifinal saat melawan kompatriotnya Jonathan “Jojo” Christie secara long set (tiga game). Hari ini, Ahad, 01 Mei 2022 -bertepatan dengan 28 Ramadhan 1443 Hijriyyah- Jojo akan melawan pemain Malaysia, Lee Ji Zia, di partai puncak.
Mengandung unsur nama Jawa (dari kata “Dwi Wardoyo”) Chico aslinya adalah orang Papua. Lahir di Jayapura, kemudian main di PB Pemda atau klub Cendrawasih. Lalu pindah ke Jakarta dan semakin berkembang permainannya di ibukota ini. Chico masuk PB Exist di Jakarta pada tahun 2013 dan bernaung di klub tersebut selama 2 (dua) tahun.
Chico memiliki keunggulan yang jarang dimiliki pemain tunggal Indonesia, yaitu tubuhnya bongsor. Tinggi badannya melewati 180 centimetres (cm), lebih tinggi daripada Jojo yang barangkali 179 senti. Beberapa pemain tunggal masa lalu kita yang tinggi badannya melampaui 180 cm biasanya memiliki periode puncak (peak performance) atau masa bermainnya lama. Misalnya Rudy Hartono, Eddy Kurniawan, dan Fung Permadi. Mereka masih bisa berprestasi meski usia lebih dari 30 tahun.
Ada satu ketidakberuntungan era Chico ini. Dia muncul saat tunggal Indonesia berada pada masa panen emasnya. Ada Ginting, Jojo, Shesar Hiren Rustavito. Dulu ditambah keberadaan Ihsan Maulana Mustofa dan ‘si kidal” Firman Abdul Kholik. Sehingga pelatnas cenderung mengirim para pemain-pemain tersebut ke ajang multi level (baik series mapupun super series) dibanding generasi Chico ini. Rekan-rekan Chico yang seangkatan misalnya Ihsan Leonardo Imanuel Rumbay, Yonathan Ramlie, dan Christian Adinata.
Fenomena kesenjangan generasi atau generation gap ini pernah beberapa kali dialami Indonesia. Seingat saya Icuk Sugiarto dulu yang pernah mengatakan bahwa gap -terutama di tunggal putra- adalah selama 10 tahun. Sewaktu Rudy Hartono turun, bisa disambung oleh Liem Swie King, kemudian Icuk. Regenerasi berjalan lancar. Namun ketika Icuk turun, generasi berikutnya belum muncul. Maka PBSI mem-push pemain yunior usia 20 tahunan agar jam terbang tinggi. Mereka adalah Alan Budikusuma, Ardy Bernardus Wiranata, dan Hermawan Susanto. Setelah juara Thomas Cup tahun 1984, baru tahun 1994 Indonesia bisa juara lagi.
Sesudah itu muncul Joko Suprianto dan Heryanto Arbi. Mereka berdua turun tahta, muncul Hendrawan, dan selanjutnya Taufik Hidayat. Berbarengan dengan Taufik ada Sony Dwi Kuncoro, dan Simon Santoso. Kemudian ada Tommy bin Icuk Sugiarto. Namun di tengah angin-anginnannya prestasi Tommy (dan saat itu ada Hayom Rumbaka), belum muncul generasi pengganti yang bisa diandalkan.
Sehingga PBSI era Gita Wiryawan (dengan pelatih kepalanya Rexy Mainaky) memberi perhatian ekstra kepada Ginting, Jojo, dan Ihsan Maulana Mustofa serta Firman Abdul Kholik. Dari keempatnya hanya Ginting dan Jojo yang bertahan. Kemudian masuk lagi Sheshar Hiren R yang dulunya sempat terlempar dari pelatnas.
Chico ini sebenarnya seusia dengan Lee Jii Zia dari Malaysia. Mereka lahir pada tahun yang sama. Namun Lee Jii Zia sudah masuk 10 besar dunia, sedangkan Chico masih peringkat 50-an. Bisa jadi karena Lee JZ lebih banyak dimainkan di pertandingan internasional (Malaysia juga mengalami gap generation pasca mundurnya Lee Chong Wei) maka Lee Jii Zia lebih terasah kemampuannya. Lee juga merupakan peraih juara All England tahun lalu.
Bulan depan Chico akan bermain di ajang Sea Games di Hanoi, Vietnam. Chico akan menjadi tunggal pertama beregu. Dan bisa jadi menjadi tumpuan untuk meraup emas tunggal putra. Dengan prestasi mengesankan selama Badminton Asia Championship ini, asa emas itu bisa teraih. Kuncinya -menurut lagu bang haji Rhoma Irama- adalah dengan perjuangan dan doa. Bagian reffrein lagu tersebut adalah,
“Berjuang …. berjuang sekuat tenaga
Tetapi jangan lupa
Perjuangan harus pula disertai doa
Hadapilah semua dengan tabah
Juga dengan kebesaran jiwa”
Semoga sukses Chico Aura Dwi Wardoyo. Sukses juga bagi tim bulutangkis di ajang Sea Games di Hanoi nanti.
Yuni Andono Achmad, staf pengajar di Universitas Gunadarma, Depok. Seorang pengamat bulutangkis tinggal di kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tulisan pertama mengenai bulutangkis yang keluar di media adalah pada tahun 1996 di tabloid Bola. Tepatnya pada rubrik “Surat Pembaca” yang kemudian dipilih redaksi menjadi headline (tulisan terbaik) saat itu. Penulis adalah alumni FEB Universitas Gadjah Mada program S1, sedangkan S2 dari Magister Perencanaan Kebijakan Publik (MPKP) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Selain menjadi akademisi juga sebagai konsultan di sebuah kementerian/ lembaga di Jakarta. Memiliki akun instagram di andonoachmad, dan facebook di Yuniandono Ahmad.


