PENGANTAR
Ketika langit mengasihi bumi, semua rupa cinta tercurahkan. Dilukiskannya pelangi untuknya, agar semua penghuni bumi hidup lebih berwarna.
Diturunkan hujan, agar semua penghuni bumi tumbuh dan bermekaran. Dihujamkan kilat, agar semua penghuni bumi tergetar dalam ikhtiar. Disusunkan awan dan kabut, agar penghuni bumi tertawan cinta-Nya yang lembut.
Tidak ada satu pun makluk yang bersedia dan sanggup menjadi khalifah di bumi, kekasih langit tersebut, kecuali manusia.
Ditangan-tangan koloni manusia, bumi terperdaya. Bahkan setiap jengkal tubuhnya luka, rapuh dan terus menua. Setiap dari bentuknya terudapkasa nafsu manusia, tak menyisakan keseimbangan semesta.
Langit yang cemburu, mengirim panas tanpa jeda, kering kerontang bumi tanpa tumbuh dan bermekaran. Mengguncang-guncang tubuh bumi, kekasihnya. Menelan koloni manusia dalam gempa. Mengirim api, membakar setiap jengkal bumi. Melahap sebagian dari mereka. Tapi manusia, tak pernah membaca kecemburuan cinta langit atas kekasihnya, bumi.
Puisi “Hikayat Pohon di Bukit Berhutan” ini adalah bait-bait kegetiran bumi yang tertuju pada langit.
Hikayat Pohon di Bukit Berhutan
Bukit yang berhutan
Dimana Mahoni, Trembesi dan Beringin
Berbagi kavling, layaknya sebuah cluster.
Bercengkrama satu sama lain,
Membahas banyak kematian diantara mereka,
Tumbang terpenggal gigi bermesin.
Membahas Derkuku, Kutilang dan
koloni berparuh lainnya,
yang jarang singgah di dahan dan ranting
Padahal sahabat mereka, seperti
Duwet, Manggis, Pisang dan pohon hutan lainnya
Sajikan buah untuk makluk bersayap itu.
Berharap balas budi, biji-biji mereka ditebarkan,
Dan kelak anak-cucu nya bertumbuh.
Seteru lain, di malam hari
jangkrik, kelelawar dan deruk berdebat
nyanyian siapa yang membuat rembulan tersenyum.
Ratusan kunang-kunang berbaris rapi,
Hampir di setiap sudut pepohonan
Seperti lampu penerang di hunian modern.
Menyambut gembira debat nyanyi mereka.
Bergelayutan dan bahkan beterbangan,
Makluk tak kasat mata juga saling bertemu
Bahkan arisan, layaknya manusia.
Menyoal bungker dan sumur tua di pojok hutan
Diantara mereka bercerita serdadu Jepang
dengan topi khas mereka,
Dan juga bayonet yang masih basah darah
Serta berserakan selongsong peluru,
Serupa, basah dan berdarah.
Sekarang penghuni bukit berhutan,
Sudah termakan puluhan windu dan dekade
Tenggelam ditelan waktu.
Hanya sebatang Mahoni, cicit mereka tertinggal.
Tegak berdiri sendirian di pojokan,
Yang sekarang taman perumahan manusia.
Hanya seekor Derkuku cicit mereka tertinggal.
Terbang mengitari dahan asing
Tabebuya dan Akasia, berjejer rapi tanpa sapa,
Di depan pagar-pagar perumahan manusia.
Dan sesekali mereka perhatikan koloni berparuhnya,
Dibuatkan rumah-rumah kecil, tergantung di rumah manusia.
Hanya beberapa makluk tak kasat mata tertinggal,
Tak leluasa bergelayutan dan beterbangan lagi.
Rumah-rumah pengap, gelap dan lembabnya
tidak ada lagi.
Berganti kavling-kavling tertata rapi,
dalam kluster hunian manusia.
Kulihat di antara manusia itu,
Juga saling bercengkerama
Menyoal bahagia, duka dan sebagainya.
Aku dengar di antara manusia itu juga berdebat
Menyoal siapa yang paling hebat.
Dan bahkan aku dengar, manusia itu juga mambahas yang lain, seperti;
Mereka kepanasan, karena koloni pepohan berkurang.
Mereka merasakan kesepian, karena koloni
burung sudah jarang bernyanyi.
Mereka merasakan kesunyian malam,
karena tak ada lagi debat jangkrik, kelelawar dan deruk.
Mereka merasakan ketakutan, karena koloni makluk tak kasat mata masih berseliweran,
Persis seperti yangdiceritakan,
anak-cucunya
Diantaranya mampu bercengkerama dengan mereka, yang bergelayutan dan beterbangan tanpa sayap.
Pujangga Sepi
Februari 2022
Chris Triwarseno, S.T. , Lahir di Karanganyar, 14 Februari 1981. Alumni Teknik Geodesi UGM. Penulis buku puisi Bait-bait Pujangga Sepi “Ketika Kukatupkan Kedua Bibir ini Sudah”, beberapa karyanya yang lain terbit di media online.