Rupiah Terus Melemah Nyaris Tembus Rp 14.200 per Dolar AS

Foto ilustrasi

[divide]

Jakarta (Nadariau.com) – Nilai tukar rupiah pada perdagangan hingga siang ini, Senin (21/5), terus melemah hingga menembus Rp14.199 per dolar Amerika Serikat (AS), setelah dibuka pada posisi Rp 14.175 per dolar AS pagi tadi.

Sementara berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia (BI) atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di posisi Rp 14.176 per dolar AS. Posisi ini melemah 0,48 persen atau 69 poin dari posisi rupiah pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jum’at (18/05/2018), di Rp 14.107 per dolar AS.

Kendati begitu, pelemahan rupiah bukan yang terdalam di antara mata uang negara di kawasan Asia. Tercatat, pelemahan tertinggi dialami won Korea Selatan sebesar 0,73 persen. Diikuti yen Jepang melemah 0,44 persen.

Setelah rupiah, ada peso Filipina yang melemah 0,22 persen, rupee India minus 0,12 persen, ringgit Malaysia minus 0,1 persen, dolar Singapura minus 0,12 persen, baht Thailand minus 0,11 persen, dan renmimbi China minus 0,03 persen.

Sementara mata uang negara maju bergerak variasi. Euro Eropa melemah 0,19 persen, pound sterling Inggris minus 0,26 persen, dan franc Swiss 0,14 persen. Namun, dolar Kanada menguat 0,09 persen, dolar Australia 0,11 persen dan rubel Rusia 0,02 persen.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim melihat pelemahan rupiah pada hari ini bisa mencapai angka Rp 14.250 per dolar AS bila dolar AS terus menguat.
“Saat ini, indeks dolar AS sudah mencapai level 94. Kalau ini terus menguat, rupiah bisa terus melemah,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Ibrahim melihat bahwa pelemahan hari ini murni karena tekanan faktor eksternal yang meningkat. Pasalnya, dari domestik sebenarnya sudah ada sentimen positif, mulai dari kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) hingga asumsi makro ekonomi Indonesia pada 2019 mendatang.

“Bahkan, perang dagang China-AS sudah mereda, tapi ada masalah baru di Eropa, ketika partai opisisi menang dan membuat dolar AS justru kian menguat,” katanya.

Selain itu, indikasi meningkatnya imbal hasil (yield) surat utang AS (US Treasury) memberikan sinyal semakin kuat pada rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Federal Reserve pada Juni mendatang.

Kendati begitu, Ibrahim menilai bahwa bank Indonesia sebaiknya tidak melancarkan intervensi stabilisasi rupiah dengan menggelontorkan cadangan devisa (cadev) dalam waktu dekat.

Pasalnya, dengan besarnya tekanan global saat ini, belum tepat bila BI justru membuat perisai kepada rupiah.

“Apapun yang dilakukan BI saat ini sifatnya sementara, sehingga lebih baik menunggu dulu hingga tekanan mereda. Kalau tidak akan sia-sia,” katanya.

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics dan Finance Bhima Yudhistira menyebut pelemahan rupiah lebih banyak disebabkan oleh sentimen global.

Sentimen domestik sendiri menurut dia, terbilang minim. Namun, ia menilai kenaikan bunga acuan BI turut memberikan sentimen negatif pada pasar modal yang juga berimbas pada saham.

“Bunga acuan naik ada kekhawatiran investor bunga kredit bank naik, makanya pada pilih jual saham perbankan. Padahal saham bank kapitalisasinya paling besar di pasar modal,” terang dia.

Pada perdagangan pagi ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bertengger di zona merah dan betah berada di level 5.700. Asing tercatat ramai-ramai melepaskan sahamnya di bank berkapitalisasi besar, seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). (CNN/nrc)