Pekanbaru (Nadariau.com) – Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) menggelar diskusi refleksi pengelolaan lingkungan hidup, yang diselenggarakan oleh majelis lingkungan hidup Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Riau, di kampus II UMRI Jalan Tuanku Tambusai, Pekanbaru, Selasa (19/12/2017).
Diskusi ini diisi oleh Pakar Lingkungan Dr Mubarak MSi, Pengamat Lingkungan dan Perkotaan Mardianto Manan, Perwakilan Kementrian LHK untuk Sumatera, Dinas LHK Riau, Perwakilan Polda Riau, perwakilan wartawan dan beberapa instansi dan lembaga terkait.
Kemudian, diskusi juga dihadiri oleh ratusan mahasiswa UMRI, perwakilan dari PT Chevron, IKPP dan RAPP serta para undangan.
Dalam diskusi, tampak menyorot perusahaan besar yang berkuasa di Provinsi Riau. Diantaranya Cevron, IKPP, RAPP dan beberapa perusahaan lainnya.
Dimana dengan bermodalkan surat izin dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perusahaan tersebut sudah merajalela menguasai lahan dan hutan di Provinsi Riau.
Seperti yang dikatakan Pakar Lingkungan Dr Mubarak MSi, mantan Presiden Soekarno dan Soeharto berkata, tidak akan mengeluarkan izin pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), jika tidak kepada orang pribumi.
Meski waktu itu sudah ada pertambangan minyak bumi, namun pengelolaanya masih menggunakan mesin angguk-angguk. Tetapi jika perizinan diberikan kepada orang luar, maka pengelolaan SDA sudah pasti dikelola dengan berbagai cara supaya mendapatkan keuntungan tinggi.
“Seperti PT Cevron sekarang menggunakan teknologi canggih untuk mengambil minyak didalam bumi Riau. Diantara teknologinya itu, perusahaan memasukkan air panas kedalam bumi dan akhirnya minyak naik keatas, lalu disedot,” kata Mubarak.
Kemudian, terkait perusahaan IKPP dan RAPP. Seharusnya pemerintah harus melakukan pengawasan dan pengontrolan kepada perusahaan. Melalui kelengkapan perizinan, sudah tentu perusahaan akan mengolah alam dengan berbagai cara agar banyak keuntungan.
Sementara dalam pengelolaan SDA, banyak dilihat perusahaan tampa menjaga ekosistem alam. Sehingga menyebabkankehancuran kepada gambut, kebakaran, banjir dan lain-lain.
“Seharusnya pemerintah harus menjaga lahan dan hutan untuk anak cucu, keturunan dan masyarakat tempatan. Sebab kalau mudah dalam mengeluarkan izin kepada perusahaan, sudah tentu alam akan rusak dan yang sengsara sudah pastiketurunan kita juga nanti, karena tidak memiliki lagi alam yang bagus lagi,” ujar Mubarak.
Hal senada juga dikatakan oleh Pengamat Lingkungan dan Perkotaan, Mardianto Manan. Menurutnya, yang salah itu adalah pemerintah. Padahal dalam aturan, ada perencaan pelaksanaan, pengawasan dan pengontrolan.
Namun yang tidak terlaksana dengan baik yaitu pengawasan dan pengontrolan. Akibatnya sudah banyak kepala daerah, kepala dinas kehutanan masuk penjara akibat mengeluarkan izin hutan.
Sedangkan perusahaan itu sendiri tidak terjerat hukum. Karena mereka melakukan pengelolaan hutan secara legal, karena memiliki kelengkapan perizinan.
“Jadi kita minta kepada Gubernur dan bupati/walikota, agar dapat melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap perizinan yang sudah dikeluarkan kepada perusahaan. Agar alam terjaga dan pengelolaan alam sesuai dengan aturan perizinan yang dikeluarkan,” kata Mardianto.
Disesi tanya jawab, selain mahasiswa juga ada salah seorang perwakilan dari PT IKPP yang memprotes pernyataan yang dibahas oleh narasumber di atas panggung.
Ia mengatakan, bahwa narasumber itu tidak mengikuti perkembangan yang terjadi sekarang diperusahaan. Sebab perusahaanya sudah memiliki teknologi canggih untuk menjaga ekosistem lingkungan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan.
“Dan setiap terjadi kebakaran, selalu pemerintah mengeluarkan PP 71 dan 57 (Tentang perlindungan hutan) kepada perusahaanya. Padahal pemerintah itu tidak mengetahui dampaknya. Jadi jika ingin berdiskusi panjang, silahkan dengan saya nanti setelah acara ini selesai,” katanya.
Pernyataan, perwakilan perusahaan itu dijawab oleh Perwakilan Kementrian LHK dari Pusat Pengendalian Pembangunan Perekonomian (P3) wilayah Sumatera, Anis.
Ia menegaskan, pemerintah selalu berpatokan kepada peraturan dalam setiap pemberian sanksi terhadap perusahaan. Dan pemerintah tidak langsung mencabut izin, tetapi akan merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) perusahaan tersebut.
Tujuanya agar perusahaan dapat memperbaiki tata kelola gambut dengan baik. Namun jika revisi RKU diabaikan, maka pemerintah baru akan mencabut izin operasi perusahaan tersebut.
“Kami selalu memantau IKPP, RAPP dan perusahaan lainnya. Seperti tahun 2015 dan 2016 kami ada menemukan kebakaran hutan dan lahan di perusahaan ini. Makanya pemerintah mengeluarkan PP 71 dan 57,” tegas Anis. (ind)